Marak Aborsi dan Kriminalisasi Petugas Kesehatan, KSRI Desak Kemenkes Terapkan PP 61 Tahun 2014
Maraknya kasus aborsi, menurut KSRI, justru menggambarkan dengan jelas bahwa kebutuhan akan layanan aborsi aman sangat tinggi
Penulis: Yulis Sulistyawan
Editor: Willem Jonata
Dalam konteks hukum, aborsi telah diatur di berbagai aturan hukum Indonesia. Namun aturan hukum tersebut inkonsisten.
Di satu sisi hukum mengatur aborsi sebagaimana dalam pasal 75 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, PP Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, PMK Nomor 3 tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan.
Namun di sisi lain hukum di Indonesia justru mempidanakan aborsi yang semestinya menjadi layanan kesehatan.
Kurangnya pemahaman APH terkait situasi KTD, minimnya sensitivitas APH terhadap kekerasan seksual yang berujung pada KTD menjadikan APH justru memukul rata tindakan aborsi untuk dipidanakan tanpa melihat akar persoalan yang telah diuraikan sebagaimana fakta di awal.
Pandemi COVID-19 menambah kerentanan perempuan. LBH APIK melaporkan perempuan menjadi lebih rentan terdampak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada masa pandemi COVID-19.
Ini besar kemungkinannya berakibat pada meningkatnya angka KTD. Selain itu, pandemi COVID-19 juga berdampak pada melumpuhnya sumber pendapatan atau lebih jauh berdampak pada pemiskinan perempuan.
Adanya keterbatasan pendapatan tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, terlebih jika harus merawat kehamilannya dengan baik.
Beberapa lembaga yang menerima pengaduan terkait situasi kesehatan reproduksi dan seksualitas perempuan, menyebutkan terjadi peningkatan kebutuhan aborsi dengan metode yang aman yang disebabkan oleh situasi mereka yang dimiskinkan dan kekerasan seksualitas yang dialami.
Dengan memperluas akses layanan aborsi aman, AKI dan kesakitan perempuan dapat diturunkan, sehingga ketersediaan layanan aborsi aman justru dapat menyelamatkan jiwa perempuan di Indonesia.
Selain itu, layanan aborsi aman harus memenuhi prinsip layanan yang berpusat pada perempuan yaitu layanan yang mengedepankan hak perempuan dengan memenuhi 3 aspek penting yaitu pilihan, akses, dan kualitas.
Dalam hal ini, pemerintah diharapkan memastikan ketersediaan berbagai pilihan metode/pengobatan, keterjangkauan akses layanan bagi seluruh perempuan di Indonesia, serta menjaga kualitas layanan dengan menghargai perempuan, tidak menstigma, tidak diskriminatif dan menjaga konfidensialitas.
Oleh karenanya KSRI mendesak Kementrian Kesehatan untuk menyediakan (Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial) PKRE --termasuk layanan aborsi aman dan pascaaborsi--sesuai pedoman pelayanan kesehatan reproduksi terpadu di tingkat pelayanan kesehatan dasar sebagai panduan pemberian layanan yang disusun berdasarkan kajian literatur ilmiah (evidence based medicine).
Selanjutnya, KSRI juga mendesak agar Kementerian Kesehatan segera mengimplementasikan PP 61 tahun 2014 dan PMK 3/2016 untuk memastikan pemberian layanan aborsi aman terhadap perempuan.
Kementerian Kesehatan juga diharapkan berkoordinasi dengan Kepolisian untuk memberikan perlindungan penuh terhadap korban, tenaga kesehatan, penyedia layanan, dan pendamping korban, salah satunya dengan menjamin kerahasiaan data dan identitas.