Musra Dinilai Jadi Senjata Ampuh Jokowi Muluskan Capres Cawapres Pilihannya Maju Pilpres 2024
Musra dinilai menjadi senjata ampuh Presiden Jokowi untuk memuluskan majunya capres cawapres pilihannya di 2024.
Penulis: Wahyu Gilang Putranto
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Gelaran Musyawarah Rakyat (Musra) yang diselenggarakan sejumlah relawan dinilai menjadi senjata politik Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Analis Politik Sekaligus CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan nama capres-cawapres yang dihasilkan Musra menjadi modal Jokowi untuk melakukan negosiasi dengan partai politik.
Menurut Pangi, Jokowi sudah memenangi satu langkah saat PDIP resmi mengusung Ganjar Pranowo, sosok yang dinilai didukung Jokowi.
Langkah berikutnya, Pangi menilai Jokowi ingin memastikan calon wakil presiden yang berpasangan dengan Ganjar adalah orang yang tepat sesuai dengan yang ia inginkan.
"Maka relawan pro Jokowi adalah senjata paling ampuh yang kembali digerakkan memalui serangkaian acara bertajuk Musra," ungkap Pangi kepada Tribunnews.com, Kamis (18/5/2023).
"Musra sepertinya sudah dijadikan sebagai daya tawar atau bargaining position oleh Jokowi untuk bernegosiasi dengan partai politik, terutama dengan PDIP untuk memuluskan langkahnya, dan sejauh ini telah terbukti cukup ampuh," imbuhnya.
Baca juga: Hubungan Jokowi dan Paloh Renggang, Pengamat: Pengganti Plate Jelas Bukan dari NasDem
Pangi mengatakan setidaknya ada tiga pesan sekaligus yang ingin disampaikan Jokowi melalui Musra.
Pertama, pesan kepada internal relawan untuk bahu membahu melakukan penguatan soliditas relawan.
"Kedua, pesan kepada partai politik untuk mendengarkan suara relawan, suara relawan harus diperhitungkan."
"Ketiga, selain dukungan partai politik, Jokowi masih punya dukungan jejaring yang kuat di akar rumput melalui simpul-simpul relawan," ungkap Pangi.
Langkah Jokowi Bisa Jadi Preseden Buruk
Tetapi, langkah politik Jokowi ini dinilai Pangi bisa menjadi preseden alias contoh buruk.
"Di mana presiden yang sedang berkuasa tanpa rasa malu menjadikan dirinya makelar demi kepentingan politik temporal dan merendahkan dirinya sendiri."
"Seorang presiden sudah selayaknya naik level menjadi seorang negarawan bukan hanya sekadar politisi pragmatis gila kuasa," kritiknya.