Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Federasi Serikat Guru Sayangkan MK Bolehkan Kampanye di Fasilitas Pendidikan

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyayangkan putusan MK yang memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pendidikan.

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Theresia Felisiani
zoom-in Federasi Serikat Guru Sayangkan MK Bolehkan Kampanye di Fasilitas Pendidikan
Tribunnews.com/Ibriza Fasti Ifhami
Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti. FSGI menyayangkan putusan MK yang memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pendidikan karena fasilitas pendidikan adalah ruang netral untuk kepentingan publik. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pendidikan.

Hal tersebut terkait Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023, yang dibacakan pada Selasa (15/8/2023) lalu.

Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti mengatakan, fasilitas pendidikan adalah ruang netral untuk kepentingan publik.

“Padahal selama ini, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah menjadi ruang netral untuk kepentingan publik, sehingga dilarang menggunakan fasilitas Pendidikan dan fasilitas pemerintah dijadikan tempat kampanye saat pemilu”, kata Retno Listyarti, melalui keterangannya, Senin (21/8/2023).

Ia juga menyayangkan keputusan MK memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus) sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye. 

“Secara teknis nantinya juga akan sulit bagi sekolah saat lembaganya digunakan untuk tempat kampanye di saat proses pembelajaran sedang berlangsung. Hal ini juga berpotensi membahayakan keselamatan peserta didik nantinya”, ujarnya.

Retno mengatakan, seharusnya kampanye di fasilitas pendidikan, seperti sekolah TK, SD dan SMP tidak diperbolehkan.

Berita Rekomendasi

Karena siswa di tingkat tersebut belum termasuk usia memilih atau belum memiliki hak pilih.

"Bahkan di SMA dan SMK pun hanya sebagian peserta didik yang sudah memiliki hak pilih karena sudah berumur 17 tahun, mereka adalah pemilih pemula, yang jumlahnya cukup besar dan menjadi target banyak caleg, cabup/cawalkot, cagub dan capres," jelasnya.

Lebih lanjut, kata Retno, tempat pendidikan memang boleh menjadi tempat untuk mempelajari ilmu politik. Namun, tidak untuk kepentingan politik elektoral tertentu. 

"Fasilitas pemerintah boleh digunakan untuk pencerdasan politik bangsa, tetapi tidak untuk kepentingan elektoral tertentu," ucapnya.

Adapun mengenai persyaratan "tanpa atribut" dalam berkampanye di kampus, menurut Retno, hal itu tidak menghilangkan relasi kuasa dan uang. 

"Sebab, dua hal itu bisa saja disalahgunakan oleh institusi pendidikan untuk mengomersialkan panggung politik di dalam tempat pendidikan," jelasnya.

Sebagai informasi, MK mengizinkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan selama tidak menggunakan atribut kampanye.

Dalam perkara itu, dua orang pemohon, Handrey Mantiri dan Ong Yenni, menilai ada inkonsistensi aturan terkait aturan itu dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Larangan kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah tercantum tanpa syarat dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h.

Namun, pada bagian Penjelasan, tercantum kelonggaran yang berbunyi, “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas