Saldi Isra: Putusan MK soal Gugatan Batas Usia Cawapres Aneh dan Luar Biasa
Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyebut putusan MK soal batas usia capres-cawapres sebagai pengalaman aneh dan luar biasa.
Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.com - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian gugatan batas usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) nomor perkara 90/PUU-XXI/2023, menimbulkan polemik.
Diketahui, dalam sidang putusan yang digelar, Senin (16/10/2023), MK mengabulkan gugatan perkara tersebut.
Hal ini berarti siapapun yang belum berusia 40 tahun, bisa mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres, selama memiliki pengalaman sebagai kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Padahal, MK sebelumnya telah menolak gugatan serupa dengan nomor 29-51-55/PUU-XII/2023 yang meminta agar batas usia capres dan cawapres diubah dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Ketiga gugatan itu ditolak karena dalam norma Pasal 168 UU huruf q UU 7/2017, MK menilai ihwal usia capres dan cawapres adalah wewenang pembentukan UU untuk mengubahnya.
Baca juga: Dugaan Anwar Usman, Jokowi, Gibran, Kaesang Jadikan MK Sebagai Mahkamah Keluarga Tak Terbukti
Terkait hal ini, Hakim Konstitusi yang juga Wakil Ketua MK, Saldi Isra, mengaku bingung untuk menentukan harus dari mana memulai dissenting opinion atau pendapat berbeda.
"Berkaitan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tersebut, saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda (dissenting opinion) ini," kata Saldi Isra saat membaca pendapat berbeda di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin, dilansir Kompas.com.
Karena itu, Saldi Isra mengatakan putusan sidang kemarin adalah pertama kalinya ia mengalami peristiwa aneh dan luar biasa, sejak berkarier sebagai Hakim Kontitusi di MK pada 11 April 2017.
Lantaran, kata Sald Isra, MK bisa berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sesaat.
"Baru kali ini saya mengalami peristiwa 'aneh' yang 'luar biasa' dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar."
"Sadar atau tidak, ketiga putusan (29-51-55/PUU/XXI/2023) tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang," tutur dia.
Meski demikian, Saldi Isra mengakui MK memang pernah berubah pendirian.
Tetapi, perubahan itu tak pernah terjadi secepat saat ini.
Lebih lanjut, Saldi Isra mengatakan perubahan pendirian itu terjadi saat Ketua MK, Anwar Usman, menghadiri Rapat Permusyarawatan Hakim (RPH) saat memutus perkara gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.