Aksi di Depan MK, JPPR dan KIPP Tolak Adanya Hubungan Keluarga Antara Presiden-Hakim Konstitusi
KIPP mendorong semua pihak melakukan evaluasi terhadap MK dalam menjalankan kekuasaannya secara independen dan profesional.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaringan Pendidikan untuk Rakyat (JPPR) dan Komite Independen Pemilih Indonesia (KIPP) melakukan aksi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (23/10/2023).
Sekretaris Jenderal KIPP Kaka Suminta mengatakan pihaknya mendorong semua pihak melakukan evaluasi terhadap MK dalam menjalankan kekuasaannya secara independen, profesional, dan berkeadilan.
Dorongan ini lahir pascaputusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mereduksi syarat usia minimal calon presiden (capres) calon wakil presiden (cawapres).
“Dengan putusan tersebut, syarat usia empat puluh tahun dalam mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden direduksi maknanya dengan mengecualikan pejabat negara yang dipilih melalui pemilu atau pilkada,” ujar Kaka di depan Gedung MK.
Padahal, lanjutnya, Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 sudah secara tegas menyatakan politik hukum untuk mendesain tata cara pemilihan capres dan cawapres termasuk syarat usia merupakan kewenangan pembuat kebijakan atau open legal policy yang menyatakan:
Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.
“Maka kehadiran MK yang diharapkan menjadi the guardian of constitution, kini menjadi perusak konstitusi,” ujar Kaka.
Lebih lanjut JPPR dan KIPP mendorong adanya rekonstruksi MK yang didesain secara ketat dengan upaya menjaga kemandirian hakim konstitusi baik secara personal maupun kelembagaan.
Termasuk melarang adanya hubungan keluarga antara Presiden selaku pejabat eksekutif dan pimpinan DPR selaku pejabat legislatif dengan hakim konstitusi selaku orang yang menjalankan kekuasaan kehakiman di Indonesia.