Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Wacana Pemakzulan Jokowi, Saiful Mujani: Bisa Dilakukan Jika Terbukti Menyalahgunakan Kekuasaan

Saiful khawatir pilpres yang akan datang menjadi arena elektoral yang tidak netral karena ada campur tangan pemegang kekuasaan saat ini.

Penulis: Malvyandie Haryadi
zoom-in Wacana Pemakzulan Jokowi, Saiful Mujani: Bisa Dilakukan Jika Terbukti Menyalahgunakan Kekuasaan
Tangkapan layar YouTube Sekretariat Presiden
Presiden Joko Widodo yang tengah berkunjung ke Pasar Bulan, Gianyar, Bali. Wacana pemakzulan Presiden Joko Widodo atau Jokowi mulai berembus, setelah Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mencetuskan hal tersebut. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana pemakzulan Presiden Joko Widodo atau Jokowi mulai berembus, setelah Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mencetuskan hal tersebut.

Menurut Mardani, opsi pemakzulan terhadap Jokowi menjadi terbuka jika dugaan cawe-cawe atau campur tangan dalam Pilpres 2024 terbukti.

"Kalau jadi dan faktanya verified, pemakzulan bisa menjadi salah satu opsi," kata Mardani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (31/10/2023) lalu.

Sementara Ilmuan Politik Siaful Mujani juga menyuarakan soal konflik kepentingan yang dicurigai menjadi penyebab dikabulkannya perkara 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden.

"Apabila ada bukti-bukti kuat yang menunjukkan bahwa presiden melakukan abuse of power, maka tahap impeachment terhadap presiden bisa dilakukan," tutur Saiful, kemarin (1/11/2023).

Dirinya menjelaskan bahwa segala huru hara terkait Mahkamah Konstitusi yang dianggap tidak netral bersumber dari sikap dan keputusan Presiden Jokowi yang tidak cukup terang benderang, tegak lurus pada konstitusi dan proses hukum di Indonesia.

Selain itu, Saiful juga berpandangan bahwa Presiden Jokowi seharusnya mengetahui bahwa putusan tersebut cacat secara serius.

Berita Rekomendasi

"Saya berharap tadinya, bahwa pak Jokowi tidak mengizinkan putranya untuk menjadi calon wakil presiden," tukas Saiful yang juga tokoh pendukung Maklumat Juanda.

Lebih lanjut, Saiful khawatir pilpres yang akan datang menjadi arena elektoral yang tidak netral karena ada campur tangan pemegang kekuasaan saat ini.

"Sebagai presiden, pak Jokowi punya kekuasaan yang luar biasa besarnya dan dapat menggunakan kekuasaannya untuk tujuan memenangkan Gibran," jelas Saiful.

Kekuasaan yang Saiful maksud berbentuk sumber daya dan kebijakan yang bisa disalahgunakan untuk kepentingan keluarga Presiden Jokowi.

"Pak Jokowi punya aparat, TNI maupun polisi, birokrasi, bawahan kepala daerah yang diangkatnya dalam setahun terakhir ini. Semuanya itu bisa menjadi resources yang bisa dimobilisasi untuk kepentingan politik keluarga," kata Saiful.

Kembali ke Mardani, opsi pemakzulan terhadap Jokowi itu terbuka lantaran cawe-cawe Jokowi menabrak banyak peraturan. "Banyak hal yang ditabrak.

Terpisah, mantan Politisi Nasdem Zulfan Lindan menilai Jokowi tidak takut sedikit pun dalam menghadapi situasi pelik politik Indonesia saat ini.

"Apapun dia akan hadapi. Kita tahulah karakter orang yang seperti ini. Jokowi bukan seorang penakut," kata Zulfan di Jakarta.

Menurut Zulfan, meskipun mendapat ancaman dari berbagai penjuru, baik dari kubunya sendiri, lawan politik, maupun ancaman dari luar, Jokowi akan teguh pada pendiriannya jika ia merasa benar.

"Dia pokoknya kalau sudah merasa benar, dia merasa yakin, apapun biar diancam-ancam dia akan bertahan. Bahkan bisa maju," sambung Zulfan.

Apa itu pemakzulan dan bagaimana tahapannya?

Pemakzulan bisa didefinisikan sebagai proses, cara, atau perbuatan untuk memakzulkan seseorang dari jabatannya atau memberhentikan dari jabatan sebagai pemimpin.

Pemakzulan Presiden atau Wakil Presiden telah diatur dalam Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Pasal tersebut berbunyi: "Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden."

Tahapan pemakzulan menurut UUD 1945:

  • Sebelum tahapan-tahapan dijalankan, DPR memanfaatkan hak angket sebagai upaya penyelidikan terhadap kebijakan yang diambil oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
  • DPR kemudian dapat menggunakan hak menyatakan pendapat sebagai cara untuk membawa kasus Presiden dan/atau Wakil Presiden ke MK.
  • Jika kemudian MK akhirnya memutuskan terdapat pelanggaran berdasarkan Pasal 7A UUD 1945, tidak otomatis pemakzulan itu terjadi.
  • Proses itu harus dilanjutkan dengan digelarnya Sidang Paripurna MPR untuk membuat keputusan.
  • Sidang untuk memutuskan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden harus dihadiri oleh minimal 3/4 dari total anggota MPR dan memerlukan persetujuan dari setidaknya 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir.

TPN Ganjar-Mahfud Sindir Jokowi soal Gibran Jadi Cawapres Prabowo

Anggota Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Yusuf Lakaseng kembali mengungkit pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal pencalonan Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024.

Yusuf Lakasaeng menganggap Jokowi menyampaikan pernyataan yang berbeda dengan realita kini.

Sebagai informasi, Jokowi sempat menampik saat ditanya isu Gibran akan maju sebagai calon wakil presiden (cawapres).

Kala itu, Jokowi menyebut Gibran masih berusia 35 tahun dan baru menjadi Wali Kota Solo selama dua tahun.

Namun setelah Mahkamah Konstitusia (MK) mengabulkan gugatan batas usia capres-cawapres menjadi 35 tahun, Gibran langsung dideklarasikan sebagai cawapres Prabowo Subianto.

Terkait hal itu, Yusuf menduga adanya kecurangan di MK untuk memuluskan jalan Gibran di Pilpres 2024.

"Kalau mau curang kan banyak cara, apalagi tangan kekuasaan bukan hanya tangan terlihat, ada operasi yang tidak perlu dia tampakkan karena akan mengundang reaksi publik," ucap Yusuf, dikutip dari Kompas TV, Selasa (1/11/2023).

"Karena presiden kita akhir-akhir ini, seperti kata Pak Prabowo, pagi tempe sore tahu."

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas