KPU dan Bawaslu Disarankan Bentuk Gugus Tugas Khusus Keamanan Informasi Pemilu 2024
KPU RI dan Bawaslu perlu menginisiasi pembentukan Satuan Gugus Tugas Khusus Keamanan Informasi Pemilu 2024.
Penulis: Reza Deni
Editor: Dewi Agustina
Sehingga ketika kata diksi kompetisi dan kontestasi itu, menjadi persepsi besar tentang pemilu, maka faktor yang akan menentukan adalah seberapa kuat dan kerasnya kompetisi dan kontestasi itu, akan berlangsung di lapangan.
"Apa faktornya, menurut saya, adalah adanya power struggle (perebutan kekuasaan) yang ikut pertarungan kekuasaan di Pilpres 2024. Bobot pertarungannya akan semakin sengit, apabila dari satu kekuatan politik itu, adu power strategi. Misalnya kalau saya baca di media ada pertarungan antara Ibu Megawati dan Pak Jokowi," katanya.
Pertarungan antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo ini, katanya, merupakan satu kompetisi atau kontestasi power struggle.
"Pertarungan tersebut semakin keras dalam ruang digital, maka rasanya serangan pertarungan di dunia digital ini, menjadi tidak bisa terelakan," ujarnya.
Karena itu, tidak mengherankan apabila ada peningkatan jumlah hoaksi selama Periode Januari 2023 hingga Oktober 2024 seperti dilaporkan Kementerian Kominfo dan Mabes Polri.
"Saya prediksi pertarungan cyber melalui hoaks, ujaran kebencian akan terjadi lompatan yang sangat tajam dalam perang di dunia digital pada bulan November ini. Saya kira disinilah pentingnya kita memahami, menyadari dan memitigasi, karena apa konsekuensi, resiko atau cost yang harus kita bayar secara secara kolektif bisa seperti Pemilu 2019, yakni pembelahan sosial dan polarisasi," katanya.
Jika melihat tren kenaikan hoaks dan ujaran kebencian saat ini, ada beberapa hal yang melatarbelakangi. Antara lain adanya pemilih di kalangan generasi Z dan milenial yang mencapai 55 persen lebih, yang sehari-hari tidak bisa lepas media sosial atau gadget.
Sementara mereka menjadi target bidikan suara dari para calon presiden, calon wakil presiden, calon legislatif dan partai politik, serta para tim sukses.
"Mereka ini akan disuguhi disinformasi melalui media sosial mengenai power struggle, pertarungan yang keras untuk menggaet pemilih yang 50 persen dari generasi Z dan milenial ini," katanya.
Dia melihat penyedia jasa hoaks dan ujaran kebencian menjelang Pemilu 2024 ini akan hidup lagi, meskipun mereka telah pecah kongsi.
"Kita perlu hati-hati menyikapi hal ini, karena mulai ada narasi yang dikembangkan mengenai potensi kecurangan, terlepas dari situasi dan kontroversi proses politik sekarang. Ini akan menjadi opini umum, akan menjadi bumbu yang paling sedap untuk proses disinformasi di dunia digital," katanya.
Ia mengingatkan disinformasi digital saat ini telah melibatkan kemajuan kecerdasan buatan atau artificial Intelligence (AI) seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, ketika ada informasi tiba-tiba Presiden Jokowi mahir berbahasa Mandarin.
"Ketika hal ini didengar saudara-saudara saya di majelis taklim di masjid, kalau Presiden Jokowi ngomong Bahas Mandarin, persepsinya bisa berbeda. Tun kan bener, dia sangat dekat dengan China, dengan Tiongkok. Tetapi beberapa hari kemudian kita lihat ternyata Presiden Jokowi juga sangat mahir Bahasa Arab, jadi bingung lagi kita," katanya.
Artinya, penggunaan AI untuk memproduksi hoaks dan ujaran kebencian akan meningkat menjelang Pemilu 2024. Inilah yang membedakan antara Pemilu 2024 dengan Pemilu 2019 lalu.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.