KPU dan Bawaslu Disarankan Bentuk Gugus Tugas Khusus Keamanan Informasi Pemilu 2024
KPU RI dan Bawaslu perlu menginisiasi pembentukan Satuan Gugus Tugas Khusus Keamanan Informasi Pemilu 2024.
Penulis: Reza Deni
Editor: Dewi Agustina
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Mahfuz Sidik mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) perlu menginisiasi pembentukan Satuan Gugus Tugas Khusus Keamanan Informasi Pemilu 2024.
Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga keamanan informasi pemilu dari serangan cyber terhadap proses penyelenggaraan Pemilu 2024.
"Nampaknya penyelenggara pemilu dalam hal ini, KPU dan Bawaslu perlu menginisiasi terbentuknya satu gugus khusus, yaitu Gugus Tugas Keamanan Informasi Pemilu. Gugus tugas ini tidak hanya untuk mengantisipasi hoaks, framing ujaran kebencian, tetapi dalam pengertian yang luas, yaitu menjaga keamanan informasi pemilu," kata Mahfuz dalam keterangannya, Jumat (3/11/2023).
Menurut Mahfuz, gugus tugas ini nantinya bisa melibatkan Dewan Pers, KPI, BSSN, Polri dan pihak terkait lainnya untuk melakukan patroli cyber dalam rangka melakukan penegakan hukum (Gakkum) terhadap disinformasi Pemilu 2024.
Baca juga: Bertemu Pj Gubernur NTB, Fadel Muhammad Berpesan Agar Pemda Bersikap Netral pada Pemilu 2024
"Saya khawatir banyaknya hoaks-hoaks sekarang ini akan menjadi gangguan besar pada pemilu 2024. Dan yang lebih penting kita bersama punya tanggung jawab sosial memberikan literasi kepada masyarakat. Jangan sampai kita ikut membodohi masyarakat dengan disinformasi di media sosial," katanya.
Mahfuz menegaskan, gugus tugas tersebut diperlukan, karena regulasi yang mengatur dunia digital saat ini sudah tertinggal 10 tahun.
"Dunia digital ini sudah berjalan di tengah-tengah kita, dan merangsek ke semua aspek kehidupan termasuk dalam kehidupan politik dalam 10 tahun terakhir secara sangat progresif," ujarnya.
Mantan Ketua Komisi I DPR ini berpandangan bahwa regulasi penyiaran Indonesia tidak mampu menjangkau penyebaran-penyebaran hoaks yang dilakukan oleh televisi (TV) berbasis internet.
"Sekarang ini banyak TV-TV yang platformnya internet. Ketika dia menyebarkan hoaks, siapa stakeholder atau pemangku kepentingan yang bisa menegakkan regulasi, apakah Dewan Pers atau KPI, kan nggak ada sekarang," ujar Mahfuz.
Akibat regulasi penyiaran yang tertinggal 10 tahun itu, kata Mahfuz, membuat banyaknya sampah-sampah digital, yang bisa 'digoreng' menjadi isu hoaks dan ujaran kebencian menjelang pelaksanaan Pemilu 2024.
Baca juga: Daftar 25 Menteri yang Sibuk di Pemilu 2024: Jadi Capres, Cawapres, Caleg, hingga Tim Kampanye
"Ini sekarang yang menjadi rumit dan menjadi ruwet, karena memang basis regulasinya yang memang tidak lengkap," katanya.
Dengan banyak hoaks dan ujaran kebencian bertebaran di dunia maya, menurut Mahfuz, KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara akan kesulitan untuk melaksanakan pesta demokrasi ini secara riang gembira.
"Apalagi kalau lihat diksi tentang pemilu sekarang yang telah bergeser dari pesta menjadi kompetisi atau kontestasi. Jadi dua kata diksi ini, yang selalu akrab di telinga kita saat ini" katanya.
Sehingga ketika kata diksi kompetisi dan kontestasi itu, menjadi persepsi besar tentang pemilu, maka faktor yang akan menentukan adalah seberapa kuat dan kerasnya kompetisi dan kontestasi itu, akan berlangsung di lapangan.
"Apa faktornya, menurut saya, adalah adanya power struggle (perebutan kekuasaan) yang ikut pertarungan kekuasaan di Pilpres 2024. Bobot pertarungannya akan semakin sengit, apabila dari satu kekuatan politik itu, adu power strategi. Misalnya kalau saya baca di media ada pertarungan antara Ibu Megawati dan Pak Jokowi," katanya.
Pertarungan antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo ini, katanya, merupakan satu kompetisi atau kontestasi power struggle.
"Pertarungan tersebut semakin keras dalam ruang digital, maka rasanya serangan pertarungan di dunia digital ini, menjadi tidak bisa terelakan," ujarnya.
Karena itu, tidak mengherankan apabila ada peningkatan jumlah hoaksi selama Periode Januari 2023 hingga Oktober 2024 seperti dilaporkan Kementerian Kominfo dan Mabes Polri.
"Saya prediksi pertarungan cyber melalui hoaks, ujaran kebencian akan terjadi lompatan yang sangat tajam dalam perang di dunia digital pada bulan November ini. Saya kira disinilah pentingnya kita memahami, menyadari dan memitigasi, karena apa konsekuensi, resiko atau cost yang harus kita bayar secara secara kolektif bisa seperti Pemilu 2019, yakni pembelahan sosial dan polarisasi," katanya.
Jika melihat tren kenaikan hoaks dan ujaran kebencian saat ini, ada beberapa hal yang melatarbelakangi. Antara lain adanya pemilih di kalangan generasi Z dan milenial yang mencapai 55 persen lebih, yang sehari-hari tidak bisa lepas media sosial atau gadget.
Sementara mereka menjadi target bidikan suara dari para calon presiden, calon wakil presiden, calon legislatif dan partai politik, serta para tim sukses.
"Mereka ini akan disuguhi disinformasi melalui media sosial mengenai power struggle, pertarungan yang keras untuk menggaet pemilih yang 50 persen dari generasi Z dan milenial ini," katanya.
Dia melihat penyedia jasa hoaks dan ujaran kebencian menjelang Pemilu 2024 ini akan hidup lagi, meskipun mereka telah pecah kongsi.
"Kita perlu hati-hati menyikapi hal ini, karena mulai ada narasi yang dikembangkan mengenai potensi kecurangan, terlepas dari situasi dan kontroversi proses politik sekarang. Ini akan menjadi opini umum, akan menjadi bumbu yang paling sedap untuk proses disinformasi di dunia digital," katanya.
Ia mengingatkan disinformasi digital saat ini telah melibatkan kemajuan kecerdasan buatan atau artificial Intelligence (AI) seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, ketika ada informasi tiba-tiba Presiden Jokowi mahir berbahasa Mandarin.
"Ketika hal ini didengar saudara-saudara saya di majelis taklim di masjid, kalau Presiden Jokowi ngomong Bahas Mandarin, persepsinya bisa berbeda. Tun kan bener, dia sangat dekat dengan China, dengan Tiongkok. Tetapi beberapa hari kemudian kita lihat ternyata Presiden Jokowi juga sangat mahir Bahasa Arab, jadi bingung lagi kita," katanya.
Artinya, penggunaan AI untuk memproduksi hoaks dan ujaran kebencian akan meningkat menjelang Pemilu 2024. Inilah yang membedakan antara Pemilu 2024 dengan Pemilu 2019 lalu.
"Jadi dari sisi produk yang dihasilkan sudah menggunakan Artificial Intelligence (AI). Produknya akan banyak menggunakan produk audio visual atau video yang mulai disebarkan di media sosial untuk merangsang, mestimulasi emosional masyarakat. Kita perlu memitigasi dan mewaspadai bersama, jangan mengambil keuntungan dari situasi ini. Ingat pembelahan politik pasca Pemilu 2019, itu cost yang kita tanggung," pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.