Rocky Gerung Suarakan Pemakzulan Jokowi, Anggap Hanya Megawati yang Bisa Lakukan
Rocky Gerung menyuarakan pemakzulan untuk Presiden Jokowi saat hadir di kampanye AMIN, sebut hanya bisa dilakukan oleh Megawati Soekarnoputri.
Penulis: Rifqah
Editor: Febri Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM - Pengamat politik Rocky Gerung menyuarakan pemakzulan untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan harus dimakzulkan secara konstitusional.
Pernyataan Rocky tersebut ia ungkapkan ketika mengisi diskusi DIALOG PUBLUK RELAWAN AM1N BUGAR di Tangerang Selatan pada Minggu (14/1/2024).
Pada momen tersebut, Rocky juga mengajak pendukung Anies Baswedan dan Cak Imin (AMIN) itu untuk memakzulkan Jokowi dari kursi kepresidenan.
Langkah politik tersebut, kata Rocky, bisa dilakukan oleh Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri karena memiliki kuasa di partai yang mendominasi DPR RI.
“Diperlukan langkah politik yang memungkinkan langkah pemakzulan itu dimulai oleh siapa harusnya oleh Megawati karena dia yang punya standing di parlemen,” bebernya, Minggu.
Alasan Rocky menyuarakan pemakzulan Jokowi ialah karena menurutnya Pemilu 2024 nanti tak akan ada dampaknya, jika ayah Gibran Rakabuming Raka itu masih duduk di kursi kepresidenan.
Pasalnya, Rocky menganggap Jokowi akan berpihak untuk memenangkan salah satu paslon Pilpres 2024.
“Karena itu proses politik berikutnya adalah mendorong agar ada gerakan politik yang lebih terarah untuk mewujudkan pemakzulan dengan cara konstitusional,” ujarnya.
“Karena kalau penghalangnya tidak disingkirkan, maka politik 14 Februari itu omong kosong,” kata Rocky.
Sebagaimana diketahui, isu pemakzulan Jokowi ini kembali mencuat menjelang Pilpres 2024.
Wacana pemakzulan itu pertama kali dilontarkan oleh gerakan Petisi 100 yang mengirimkan surat kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD.
Baca juga: Wacana Pemakzulan Presiden Jokowi, Saleh Partaonan Daulay: Tidak Jelas Dasarnya
Tanggapan Pakar Hukum
Tiga pakar hukum tata negara angkat bicara untuk menanggapi wacana pemakzulan Presiden Jokowi tersebut.
Ketiga pakar hukum tata negara ini adalah Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, dan Yusril Ihza Mahendra yang kini bergabung di Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran.
Menurut Zainal, pemakzulan Jokowi itu tidak mudah dilakukan karena membutuhkan proses panjang.
Pemakzulan harus melewati proses yang tidak sederhana, mulai dari penentuan alasan pemberhentian presiden, hingga proses panjang yang harus dilewati.
“Jadi secara substansi [alasan pemakzulan] bukan hal sederhana, dan secara proses lebih tidak sederhana lagi, karena harus ke DPR, MK, dan MPR,” kata Zainal, Kamis (11/1/2024).
Lalu, menurut Yusril, gerakan pemakzulan Jokowi tersebut inkonstitusional karena tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 7B UUD 1945.
Yusril menjelaskan hal ini berbuntut pada pemakzulan Jokowi dalam kurun satu bulan sebelum hari pencoblosan 14 Februari.
Menurutnya, mustahil proses pemakzulan dapat dilakukan dalam waktu kurang dari satu bulan karena prosesnya panjang dan memakan waktu.
Yusril bahkan memperkirakan proses pemakzulan presiden paling singkat memakan waktu enam bulan. Artinya, setelah Pemilu 2024 digelar.
Dia mewanti-wanti pemakzulan itu membawa kondisi pemerintahan menjadi chaos karena kekosongan kekuasaan.
"Prosesnya harus dimulai dari DPR yang mengeluarkan pernyataan pendapat bahwa Presiden telah melanggar Pasal 7B UUD 45, yakni melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, melakukan perbuatan tercela atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden," kata Yusril dalam keterangan tertulis, Minggu (14/1/2024).
"Tanpa uraian yang jelas aspek mana dari Pasal 7B UUD 45 yang dilanggar presiden, maka langkah pemakzulan adalah langkah inkonstitusional."
"Sementara kegaduhan politik akibat rencana pemakzulan itu tidak tertahankan lagi. Bisa-bisa pemilu pun gagal dilaksanakan jika proses pemakzulan dimulai dari sekarang. Akibatnya, 20 Oktober 2024 ketika jabatan Presiden Jokowi habis, belum ada presiden terpilih yang baru. Negara ini akan tergiring ke keadaan chaos karena kevakuman kekuasaan," ujarnya.
Sementara itu, pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie mengaku heran dengan wacana pemakzulan Presiden Jokowi yang kembali ramai satu bulan menjelang pemungutan suara Pemilu 2024 ini.
Ia menduga isu pemakzulan Jokowi ini untuk pengalihan perhatian atau karena pendukung pasangan calon capres-cawapres lain khawatir kalah.
"Aneh, 1 bulan ke pemilu kok ada ide pemakzulan presiden. Ini tidak mngkin, kecuali cuma pengalihan perhatian atau karena pendukung paslon, panik & takut kalah."
"Satu bulan ini, mana mungkin dicapai sikap resmi 2/3 anggota DPR & dapat dukungan 2/3 anggota MPR setelah dari MK. Mari fokus saja sukseskn pemilu," tulis akun media sosial X @jimlyAs seperti dikutip redaksi, Minggu (14/1/2024).
3 Syarat Pemakzulan Presiden
Dalam hal ini, Zainal Arifin mengatakan terdapat tiga alasan seorang presiden dapat dimakzulkan atau diberhentikan dari jabatannya, yakni sebagai berikut.
- Presiden melakukan pelanggaran pidana, seperti suap, korupsi, penghianatan kepada negara, dan tindak pidana berat lainnya.
- Presiden melakukan perbuatan tercela.
- Presiden tidak lagi memenuhi syarat untuk memimpin negara.
Sebagai informasi, Zainal melihat poin kedua, yakni frasa perbuatan cela diambil dari aturan hukum yang berlaku di Amerika Serikat.
Namun, bedanya pemaknaan atas kejahatan itu, di AS lebih spesifik daripada Indonesia.
“Misal skandal Bill Clinton dengan Lewinsky itu bukan karena hubungan seksual, tapi karena Clinton berbohong di bawah sumpah. Saya tidak tahu kalau di Indonesia perbuatan tercela diterjemahkannya seperti apa karena perdebatannya bisa panjang,” kata Zainal.
Pasal 7A UUD 1945 mengatur bahwa “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Melihat dari ketiga alasan ini, apakah Jokowi bisa dimakzulkan?
“Bisa iya, bisa tidak. Apakah misalnya presiden cawe-cawe dalam pemilu itu bisa dianggap sebagai perbuatan pidana atau perbuatan tercela."
“Secara substansi perdebatannya ada dan panjang, walaupun tentu saja sangat mungkin dikualifikasi terjadi pelanggaran presiden karena selama ini sudah banyak sekali terakumulasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan itu, banyak sekali sebenarnya," jelas Zainal.
"Cuma apakah bisa dikualifikasikan ke tiga jenis tadi itu pasti ada perdebatannya,” ujarnya kemudian.
Sebagian artikel ini telah tayang di Wartajotalive.com dengan judul Hadir di Kampanye AMIN, Rocky Gerung Serukan Pemakzulan Jokowi.
(Tribunnews.com/Rifqah/Melvyandie Haryadi) (Wartakotalive.com/Desy Selviany)