Pilpres 2024 Dinilai Krusial Karena Ada Petahana, Pakar: Habis Mencoblos Terbitlah Sengketa
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan, sengketa hasil pemilu akan bermunculan setelah pemungutan suara dilakukan.
Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan, sengketa hasil pemilu akan bermunculan setelah pemungutan suara dilakukan.
"Biasanya habis nyoblos terbitlah sengketa. Karena pasti akan dipersoalkan (hasil pemilu)," kata Bivitri, dalam diskusi publik bertajuk 'Mahkamah Konstitusi Sebetulnya Bukan Mahkamah Kalkulator', di Jakarta Selatan, pada Selasa (23/1/2024).
Terlebih, Bivitri menilai, pemilihan presiden (Pilpres) 2024 unik. Sebab, cawaspres nomor urut 2 sekaligus putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang merupakan petahana ikut berkontestasi di Pilpres 2024 mendampingi Prabowo Subianto.
"Dan lebih krusial lagi pada pemilu yang kali ini, karena kita menghadapi pemilu yang unik karena ada kekuatan petahana yang membayang-bayangi pelaksanaan pemilu. Saya kira kita ngomongnya lugas aja, enggak perlu ada yang disembunyikan dan ditakuti karena itu adalah fakta," ucap Bivitri.
"Kenapa saya bilang ini fakta? Bukti-buktinya adalah cukup banyaknya persoalan pelanggaran pemilu," sambungnya.
Ia kemudian memaparkan, contoh persoalan yang muncul imbas adanya petahana yang ikut berkontestasi di Pilpres 2024. Satu di antaranya terkait dugaan pelanggaran pemilu yang dilakukan beberapa orang anggota Satpol PP Garut.
"Misalnya, pelanggaran yang dilakukan oleh ASN (aparatur sipil negara). Waktu sekelompok orang dari Satpol PP di Garut yang menyatakan dukungannya. Kemudian perdebatan yang timbul adalah, Satpol PP itu ASN atau bukan? Nah, repotnya adalah, ini utk menggambarkan situasinya ya, Ketua KSP Pak Moeldoko mengatakan, 'oh ini bukan ASN'," ucap Bivitri.
"Dengan menggambarkan dengan satu kasus itu saja, saya ingin memberikan suatu contoh bahwa itulah situasi yang belakangan ini sering terjadi. Kita jadi berdebatnya di soal-soal teknis hukum," tutur Bivitri.
Bivitri menegaskan, sebagai seorang praktisi hukum, ia tidak menolak perdebatan itu karena merupakan bagian dari penegakan hukum pemilu.
"Tapi yang jadi persoalan adalah definisi-definisi itu memang tidak akan bisa menjangkau semua praktik yang terjadi belakangan. Tapi, kita bisa lihat betul sebenarnya ada masalah-masalah yang menimbulkan ketidakadilan dalam pemilu," jelasnya.
"Kalau kecurangannya bisa kita perdebatkan secara definisi, gitu ya, dalam berbagai peraturan perundang-undangan, tapi kan jurdil, jujur dan adil dalam pemilu itu sesuatu yang sebenarnya kita bisa rasakan langsung, lepas dari definisinya."