Pemungutan Suara Ulang di Malaysia Beda, Petugas Bakal Foto Wajah dan Identitas Pemilih
Terkhusus metode KSK, KPU bakal memastikan hanya pemilih yang punya hak yang dapat mencoblos.
Penulis: Mario Christian Sumampow
Editor: Acos Abdul Qodir
Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan melaksanakan pemungutan suara ulang Pemilu 2024 (Pileg dan Pilpres) di Kuala Lumpur, Malaysia tanpa metode pos.
Artinya, PSU ini bakal hanya menggunakan dua metode yakni kotak suara keliling (KSK) dan pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS).
Terkhusus metode KSK, KPU bakal memastikan hanya pemilih yang punya hak yang dapat mencoblos.
Oleh karena itu, KPU berencana memotret wajah dan identitas pemilih untuk mengantisipasi orang yang tidak memiliki hak suara ikut mencoblos melalui KSK.
"Untuk mengatasi, untuk mengantisipasi supaya orang yang tidak berhak ikut memilih, ketika orang itu akan milih dengan metode KSK, kami minta untuk difoto wajah dan juga ID atau identitas supaya orang yang hadir memang betul-betul orang itu," kata Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari di kantor KPU, Jakarta, Senin (26/2/2024).
Sebagai informasi, tahapan pemilu di Kuala Lumpur bakal diulang. Hal itu sejalan dengan saran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kepada KPU.
KPU berharap pihaknya dapat menyelesaikan PSU tepat waktu sebelum batas akhir rekap nasional dan penetapan hasil pemilu nasional pada 20 Maret.
KPU dan Bawaslu sebelumnya sepakat tak menghitung suara pemilih pos dan KSK di Kuala Lumpur karena integritas daftar pemilih dan akan melakukan pemutakhiran ulang daftar pemilih.
Baca juga: Lakukan Pemungutan Suara Ulang, KPU Nonaktifkan PPLN Kuala Lumpur
Dalam proses pencocokan dan penelitian (coklit) oleh Panitia Pemutakhiran Daftar Pemilih (PPLN) Kuala Lumpur pada 2023 lalu, Bawaslu menemukan hanya sekitar 12 persen pemilih yang dicoklit dari total sekitar 490.000 orang dalam Data Penduduk Potensial Pemilih (DP4) dari Kementerian Luar Negeri yang perlu dicoklit.
Bawaslu juga menemukan panitia pemutakhiran daftar pemilih (pantarlih) fiktif hingga 18 orang.
Akibatnya, pada hari pemungutan suara, jumlah daftar pemilih khusus (DPK) membeludak hingga sekitar 50 persen di Kuala Lumpur. Pemilih DPK adalah mereka yang tidak masuk daftar pemilih. Ini menunjukkan, proses pemutakhiran daftar pemilih di Kuala Lumpur bermasalah.
Bawaslu bahkan menyampaikan, ada dugaan satu orang menguasai ribuan surat suara yang seyogianya dikirim untuk pemilih via pos.
Baca juga: Bawaslu Belum Dapat Ungkap Perkara Jual Beli Surat Suara di Malaysia
Baca juga: Lakukan Pemungutan Suara Ulang, KPU Nonaktifkan PPLN Kuala Lumpur
Bawaslu juga mengaku sedang menelusuri dugaan perdagangan surat suara di Malaysia.
Sebab, Bawaslu menemukan hanya sekitar 12 persen pemilih yang dilakukan proses pencocokan dan penelitian (coklit) oleh Panitia Penyelenggara Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur dari total sekitar 490.000 orang dalam Data Penduduk Potensial Pemilih (DP4) dari Kementerian Luar Negeri.
Bawaslu juga menemukan panitia pemutakhiran daftar pemilih (pantarlih) fiktif sebanyak 18 orang.
Akibatnya, jumlah daftar pemilih khusus (DPK) atau pemilih yang tak masuk dalam daftar pemiluh tetap (DPT) membeludak pada hari pemungutan suara hingga sekitar 50 persen di Kuala Lumpur.
Bawaslu bahkan sempat mengungkapkan ada dugaan satu orang menguasai ribuan surat suara yang seharusnya dikirim untuk pemilih melalui pos.