Ganjar Pranowo Siap Ajukan Gugatan Hasil Pilpres ke MK, Bagaimana Nasib Hak Angket DPR?
Sebelumnya Ganjar Pranowo mendorong adanya hak angket DPR untuk menyelidiki dugaan kecurangan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo memastikan pihaknya akan menggugat hasil pemilihan umum presiden 2024 yang telah diumunkan oleh KPU semalam, ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ganjar mengatakan tim hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud telah menyiapkan permohonan, saksi, bukti, dan juga ahli terkait gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) tersebut.
Baca juga: Sikapi Pengumuman KPU Soal Hasil Pilpres, Ganjar: Benteng Terakhir adalah Mahkamah Konstitusi
Ia meyakini MK menjadi harapan terakhir pihaknya untuk mengawal proses demokrasi setelah sebanyak sekira 116 laporan yang berproses di Bawaslu kemudian tidak ditindaklanjuti.
Ganjar juga mengatakan tidak ada kolaborasi terkait agenda tertentu antara pihaknya dengan paslon lain dalam hal ini nomor urut 01, Anies Baswedan dan Muahimim Iskandar yang juga menggugat hasil pemilu ke MK.
Hal itu disampaikannya saat konferensi pers di Posko Gama Jalan Teku Umar Nomor 9 Menteng Jakarta Pusat pada Kamis (21/3/2024).
"Sehingga ini menjadi fair dan tidak ada agenda-agenda lain, kolaborasi-kolaborasi yang terkait dengan agenda tertentu, tidak. Kami hanya ingin mendudukan saja proses ini dengan baik. Apapun keputusannya kita akan legowo," kata dia.
Baca juga: Ganjar Pastikan Gugat Hasil Pilpres 2024, Mahfud MD: MK Bukan Mahkamah Kalkulator
Calon wakil presiden nomor urut 3 yang juga mantan Ketua MK Mahfud MD kemudian merespons pertanyaan perihal mekanisme lain yang dapat digunakan MK dalam mengadili sengketa Pilpres 2024 mengingat adanya harapan MK tak menjadi "Mahkamah Kalkulator" dalam proses itu.
Soal mekanisme, ia menyerahkannya kepada majelis hakim yang nanti akan mengadili karena merekalah yang berwenang.
"Tetapi di dalam pengalaman kita sudah berkali-berkali menjadikan MK itu bukan lagi Mahkamah Kalkulator. Saya kira putusan tahun 2008 yang pertama itu adalah satu contoh bahwa MK bukan Mahkamah Kalkulator dan seterusnya dipakai sampai sekarang," kata Mahfud.
"Sampai istilah TSM itu sendiri masuk dalam hukum kita. Sebelum itu tidak ada. Artinya MK itu bukan sekedar mahkamah kallulator. Tinggal nanti kreatifitas Hakim MK," sambung dia.
Terkait gugatan ke MK, ia menjelaskan, apa yang dilakukan pihaknya adalah sebuah cita-cita reformasi untuk membangun negara ini sebagai negara demokrasi dan negara hukum.
Ia mengatakan perjalanan demokrasi dan penegakan hukum pada tahun-tahun pertama reformasi sampai belasan tahun kemudian sudah berjalan lumayan baik paling tidak dari sudut institusionalisasi.
Tetapi, kata dia, pemilu yang saat ini dinilai banyak pakar dan juga pelaku politik yang sudah senior sekali sebagai pemilu yang paling brutal karena memang tidak ada pemilu sebelumnya yang seperti ini.
"Di mana aparat turun, pejabat tertinggi juga turun, meskipun bilang tidak kampanye isinya pasti dirasakan kampanye sehingga ini dianggap, apalagi ada ancaman-ancaman ya, politik gentong babi, politik-politik kerah putih dan sebagainya sehingga ini dianggap pemilu paling brutal," kata Mahfud.