Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Haidar Alwi Sarankan MK Tolak Megawati Jadi Amicus Curiae, Ini Sejumlah Alasannya

Kubu Ganjar-Mahfud dinilai sengaja memanfaatkan nama besar Megawati untuk memengaruhi pertimbangan majelis hakim.

Penulis: Erik S
Editor: Seno Tri Sulistiyono
zoom-in Haidar Alwi Sarankan MK Tolak Megawati Jadi Amicus Curiae, Ini Sejumlah Alasannya
TRIBUNNEWS/LUSIUS GENIK
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi. Ia menilai Kubu Ganjar-Mahfud sengaja memanfaatkan nama besar Megawati untuk memengaruhi pertimbangan majelis hakim. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi mengungkap sejumlah alasan mengapa amicus curiae yang diajukan Megawati Soekarnoputri ke Mahkamah Konstitusi harus ditolak majelis hakim.

Menurut R Haidar Alwi, amicus curiae yang diajukan Megawati Soekarnoputri ke Mahkamah Konstitusi merupakan bentuk intervensi. Intervensi tak selalu bersifat diam-diam dan memaksa tapi juga dapat bersifat terbuka melalui cara-cara legal.

"Kubu Ganjar-Mahfud sengaja memanfaatkan nama besar Megawati untuk memengaruhi pertimbangan majelis hakim," kata R Haidar Alwi, Rabu (17/4/2024).

Sebab, saat ini Megawati merupakan Ketua Umum PDI Perjuangan yang mana capres-cawapresnya sedang berperkara di Mahkamah Konstitusi. Apalagi, amicus curiae tersebut diajukan di pengujung sengketa Pilpres menjelang pembacaan putusan.

Baca juga: Ramai-ramai Ajukan Amicus Curiae Sengketa Pilpres ke MK: Dari Megawati, Ahli IT sampai Mahasiswa

Ia yakin, amicus curiae Megawati disusun oleh tim Ganjar-Mahfud yang ditambahkan bumbu tulisan tangan Megawati agar terkesan lebih meyakinkan. 

Kata R Haidar Alwi, yang menyampaikan amicus curiae Megawati ke Mahkamah Konstitusi adalah petinggi PDI Perjuangan beserta tim hukum Ganjar-Mahfud.

"Karena itu jelas sekali amicus curiae Megawati tidak independen, harus ditolak. Mengatasnamakan WNI bukan Ketum PDIP hanyalah kamuflase agar terkesan netral. Saya rasa semua orang tahu posisi Megawati dalam perkara ini dan majelis hakim tidak mungkin terkecoh oleh hal itu," tutur R Haidar Alwi.

Berita Rekomendasi

Dari segi isi, R Haidar Alwi melihat, pilihan kata yang digunakan, secara tersirat ingin menegaskan identitas dan kekuasaan Megawati. 

Ia mencontohkan penggunaan diksi "fajar". Pertama, digunakan untuk menjelaskan salah satu dari empat pedoman kebenaran. 

"Dalam bahasa Rusia disebut utrenja, yang artinya fajar. Tidak ada kekuatan yang bisa menghalangi kekuatan fajar menyingsing di ufuk Timur."

"Fajar identik dengan Bung Karno yang disebut Putra Sang Fajar karena lahir saat fajar menyingsing. Megawati seakan ingin menegaskan tidak ada yang dapat menghalangi  kekuatan dan kekuasaan dirinya yang merupakan keturunan Bung Karno," jelas R Haidar Alwi.

Ke-dua, kata fajar digunakan dalam kalimat "Ketukan palu Hakim MK akan menjadi pertanda antara memilih kegelapan demokrasi atau menjadi fajar keadilan."

"Dengan kata lain, kalau memenangkan pihak Penggugat, Hakim MK akan mendapat citra positif sebagai fajar keadilan. Kalau mengalahkan pihak Penggugat, Hakim MK akan mendapatkan citra negatif sebagai pembawa kegelapan bagi demokrasi. Itu yang dapat saya baca dari keadilan versi amicus curiae Megawati," papar R Haidar Alwi.

Selain itu, R Haidar Alwi mengungkap bahwa amicus curiae Megawati tidak melihat secara utuh hubungan antara kecurangan Pemilu dengan Indeks Demokrasi Indonesia berdasarkan data Freedom House dan The Economist Intelligence Unit yang digunakan untuk mendukung opininya.

Dalam narasinya, data Freedom House menunjukkan Indeks Demokrasi Indonesia mengalami penurunan. Sedangkan data The Economist Intelligence Unit menyimpulkan demokrasi Indonesia masih tergolong cacat (flawed democracy) berada pada peringkat 54 secara global, turun dua peringkat dari tahun sebelumnya.

"Pertama, penilaiannya terlalu sempit hanya berdasarkan skor dan peringkat. Padahal, jika dilihat lebih luas lagi secara global, Indeks Demokrasi Indonesia tidak seburuk itu," ungkap R Haidar Alwi.

"Kedua, penerjemahan Bahasa Inggris yang buruk terhadap kata "flawed democracy". amicus curiae Megawati menerjemahkannya sebagai demokrasi yang cacat, padahal maksudnya adalah demokrasi belum sempurna. Terjemahan negatif untuk memberikan kesan negatif pada demokrasi Indonesia," tambah R Haidar Alwi.

Setelah melihat laporan Freedom House bertajuk Freedom In The World 2024, R Haidar Alwi menemukan bahwa Indonesia mendapatkan skor 57/100, turun dari tahun sebelumnya dengan skor 58/100 dan berstatus "partly free" atau semi bebas atau belum sepenuhnya demokratis.

Secara global, dari 195 negara, sebagian besar yakni 42 persen negara berstatus seperti Indonesia, yaitu belum sepenuhnya demokratis. Sekitar 20 persen berstatus demokratis dan 38 persen tidak demokratis. Sementara secara regional, dari 39 negara Asia-Pasific, 44 persen berstatus demokratis, 35 persen belum sepenuhnya demokratis dan 21 persen tidak demokratis.

"Status Indonesia yang belum sepenuhnya demokratis bukan kategori yang paling jelek karena ada 35 persen negara secara regional Asia-Pasific dan 42 persen negara secara global yang statusnya sama dengan Indonesia. Apalagi, di bawahnya masih ada 21 persen negara di regional Asia-Pasific dan 38 persen negara secara global yang statusnya lebih jelek dari Indonesia yaitu tidak demokratis," ucap R Haidar Alwi.

Ia melanjutkan, selama 18 tahun terakhir, negara yang mengalami penurunan Indeks Demokrasi selalu lebih banyak dari negara yang mengalami peningkatan. Dalam laporan tahun 2024, negara yang mengalami peningkatan status berjumlah 21 negara dan yang mengalami penurunan status berjumlah 52 negara. 

"Dari 41 negara yang mengalami penurunan terbesar dalam 10 tahun terakhir, tidak ada negara Indonesia," sambung R Haidar Alwi.

Kemudian, dalam laporan The Economist Intelligence Unit Limited 2024, Indonesia mendapatkan skor rata-rata 6,53 dan menempati posisi 56, turun dua peringkat dari tahun sebelumnya. Ada 5 varibel yang digunakan, yaitu (1) proses pemilu dan pluralisme politik, (2) tata kelola pemerintahan, (3) tingkat partisipasi politik masyarakat, (4) budaya politik, dan (5) kebebasan sipil.

Kelima variabel tersebut sama persis dengan yang digunakan Megawati sebagai indikator kecurangan Pemilu. Skor Indonesia untuk masing-masing variabel adalah: variabel 1 skornya 7,92 (di atas skor regional 5,76 dan global 5,49); variabel 2 skornya 7,86 (di atas skor regional 5,52 dan global 4,66); variabel 3 skornya 7,22 (di atas skor regional 5,22 dan global 5,34); variabel 4 skornya 4,38 (di bawah skor regional 5,22 dan global 5,24); serta variabel 5 skornya 5,29 (di bawah skor regional 5,32 dan global 5,39).

"Kondisi demokrasi Indonesia berada di atas rata-rata regional (5,41) dan di atas rata-rata global (5,41). Indonesia dinilai mumpuni pada variabel proses pemilu dan pluralisme politik, tata kelola pemerintahan dan tingkat partisipasi politik masyarakat. Akan tetapi Indonesia dinilai lemah dalam aspek budaya politik dan kebebasan sipil," pungkas R Haidar Alwi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Terkait

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas