Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Pimpinan Komisi II DPR Jelaskan Urgensi Revisi UU Pemilu 

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PKB Yanuar Prihatin, mendukung dilakukannya revisi terhadap UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Penulis: Chaerul Umam
Editor: Theresia Felisiani
zoom-in Pimpinan Komisi II DPR Jelaskan Urgensi Revisi UU Pemilu 
Istimewa
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa, anggota Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin. Yanuar Prihatin, mendukung dilakukannya revisi terhadap UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PKB Yanuar Prihatin, mendukung dilakukannya revisi terhadap UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Hal itu disampaikannya menanggapi sorotan Mahkamah Konstitusi (MK) agar perjalanan dinas pejabat negara diatur ulang supaya tidak berhimpitan dengan jadwal kampanye layak ditindaklanjuti.

Menurut Yanuar, sadar atau tidak, seringkali kewenangan sebagai pejabat publik itu disalahgunakan untuk kepentingan elektoral.

"Saya kira sangat penting untuk mengatur ulang kampanye para pejabat negara setingkat presiden/wakil presiden dan menteri ini," kata Yanuar dalam keterangannya kepada wartawan Minggu (28/4/2024).

"Selama ini mereka, sadar atau tidak sadar, seringkali menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat untuk kepentingan elektoral," imbuhnya.

Selain itu, kata Yanuar, fasilitas negara dan program-program pemerintah yang instan, semisal bansos dan sejenisnya, tidak boleh lagi disalahgunakan untuk tujuan politik praktis. 

"Pemilu 2024 memberikan pelajaran sangat berharga bahwa pemilu yang tidak jujur dan tidak adil akan melahirkan kecurangan yang terus berulang, karena penyalahagunaan wewenang ini," ucapnya.

Baca juga: 3 Poin Dissenting Opinion Saldi Isra di Putusan MK Sengketa Pilpres: Bansos hingga Pemilu Ulang

BERITA TERKAIT

Terkait dengan itu, menurut Yanuar UU Pemilu harus direvisi setidaknya tiga hal. 

Pertama, secara teknis harus dipertegas ulang jadwal cuti khusus untuk para pejabat ini saat ingin kampanye politik. 

"Durasi waktu atau jumlah harinya harus jelas, dan semua jadwal cuti ini wajib dilaporkan kepada KPU dan Bawaslu secara resmi," ujarnya.

"Selama cuti seluruh fasilitas negara yang melekat pada dirinya harus dilepaskan, seperti mobil dinas, protokol dan ajudan yang dibiayai negara, kewenangan pembagian program pemerintah, dan lain-lain," lanjut dia.

Kedua, sanksi yang berat atas pelanggaran tersebut harus jelas, terukur dan nyata. 

Sanksi menjadi kewenangan Bawaslu dan wajib dipatuhi oleh pejabat yang bersangkutan jika terbukti melanggar.

"Selama ini, tanpa sanksi yang berat dan jelas, presiden dan para menteri bisa seenaknya mempengaruhi pilihan politik rakyat dengan menggunakan fasilitas negara dan memanfaatkan kewenangannya secara terbuka untuk tujuan elektoral," katanya.

Ketiga, pembagian bansos, beasiswa, sertifikat tanah, pembagian uang, peresmian-peresmian sarana/prasarana yang berdampak pada masyarakat, harus diatur ulang waktunya agar tidak tumpang tindih di masa-masa kampanye. 

"Tentu saja masih banyak aspek lainnya yang harus direvisi dalam UU Pemilu, termasuk lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku politik uang dalam pemilu. Fenomena ini harus dicari akar masalahnya agar konstruksi UU Pemilu mampu menjawab soal ini," tandasnya.

Baca juga: DPR Nilai Pengamanan Pemilu 2024 Lebih Baik dari Sebelumnya

Masih Banyak Kelemahan, MK Harap Pemerintah dan DPR Revisi UU Pemilu

Diberitakan sebelumnya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo mengatakan masih banyak kelemahan pada UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Hal itu disampaikan Suhartoyo saat menyampaikan pembacaan pertimbangan putusan yang diajukan paslon capres dan cawapres nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskadar.

Suhartoyo mencontohkan kelemahan itu membuat Bawaslu sulit melakukan penindakan saat terjadi pelanggaran pemilu.

“Sehingga pada akhirnya menimbulkan kebuntuan bagi penyelenggara pemilu khususnya bagi Bawaslu dalam upaya penindakan terhadap pelanggaran pemilu," kata Suhartoyo di Ruang Sidang MK RI, Jakarta, Senin (22/4/2024).

Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan pengujian Undang-Undang tentang Aturan ambang batas Parlemen, Kamis (29/02) di Ruang Sidang MK.
Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan pengujian Undang-Undang tentang Aturan ambang batas Parlemen, Kamis (29/02) di Ruang Sidang MK. (Web resmi MK RI)

Suhartoyo menjelaskan, UU pemilu belum memberikan pengaturan terkait dengan kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai dampaknya yang dilakukan sebelum dan setelah masa kampanye dimulai.

Padahal, lanjut dia, pasal 283 ayat 1 UU Pemilu telah menyebutkan larangan bagi pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan Negeri serta ASN untuk mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu, sebelum selama dan sesudah masa kampanye.

“Namun pasal-pasal berikutnya dalam UU Pemilu tersebut tidak memberikan pengaturan tentang kegiatan kampanye sebelum maupun setelah masa kampanye, ucap dia.

Suhartoyo menyebut, ketiadaan pengaturan tersebut memberikan celah bagi pelanggaran pemilu yang lepas dari jeratan hukum atau pun sanksi administrasi.

Sehingga menurut MK lebih baik DPR dan pemerintah sebagai pembentuk Undang-undang untuk merevisi UU Pemilu.

“Demi memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pelaksanaan pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah selanjutnya, menurut mahkamah ke depan pemerintah dan DPR penting melakukan penyempurnaan terhadap undang-undang Pemilu, undang-undang Pemilukada maupun peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait dengan kampanye baik berkaitan pelanggaran administratif dan jika perlu pelanggaran pidana Pemilu,” pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas