Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Prabowo Bisa Pilih Sipil Profesional Jadi Kepala BIN, Tak Mesti Berlatar Belakang Militer

Posisi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang sangat vital dalam pemerintahan. Apakah Prabowo akan memilih Kepala BIN dari TNI atau Polri?

Penulis: Reynas Abdila
Editor: Adi Suhendi
zoom-in Prabowo Bisa Pilih Sipil Profesional Jadi Kepala BIN, Tak Mesti Berlatar Belakang Militer
Tribunnews.com/ Reynas Abdila
Pengamat terorisme dan intelijen Ridlwan Habib dalam peluncuran buku Menyingkap Selubung Intelijen di kawasan Menteng, Jakarta (10/5/2024) 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dinamika pemberitaan media akan terpusat pada lika-liku koalisi dan pemilihan calon menteri kabinet Prabowo-Gibran setelah pemerintahan Jokowi berakhir.

Posisi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang sangat vital dalam pemerintahan menjadi sorotan pengamat terorisme dan intelijen Ridlwan Habib sekaligus Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden.

Sepanjang perjalanan BIN di Indonesia, hampir semua Kepala BIN berlatar belakang militer.

Baru dua orang jenderal polisi yang menjadi pucuk pimpinan tertinggi lembaga yang kantornya berpagar warna merah itu.

Pertama, Jenderal Polisi Sutanto yang menjabat di era Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY).

Kedua, Jenderal Polisi (Purn) Budi Gunawan yang kini masih menjabat sejak dipilih menggantikan Letjen TNI (Purn) Sutiyoso pada 2016 lalu.

“Perdebatan apakah Kepala BIN harus dari TNI atau Polisi merupakan perdebatan yang tak relevan. Sebab sejatinya, pemilihan Kepala BIN adalah hak prerogatif Presiden,” ujar Ridlwan dalam peluncuran buku Menyingkap Selubung Intelijen di kawasan Menteng, Jakarta (10/5/2024).

Baca juga: 4 Kader PAN yang Disodorkan Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran: Ada Waketum hingga Sekjen

Berita Rekomendasi

Buku karangan Ridlwan berjudul Menyingkap Selubung Intelijen setebal 300 halaman berisi tentang seluk beluk dunia mata-mata.

Mulai dari cara perekrutan, gaji, karir, hingga pendidikan agen intelijen.

Menurut Ridlwan, seorang Kepala BIN bahkan bisa saja dipilih Presiden dari kalangan sipil profesional yang memahami tentang intelijen.

“Kepala BIN adalah kepanjangan dari mata dan telinga Presiden yang menjadi landasan mengambil pilihan sikap kebijakan,bukan soal latar belakang militer atau sipilnya tapi keahliannya,” ujar dia.

Baca juga: Golkar Dukung Wacana Penambahan Kementerian di Kabinet Prabowo: Ruang Gerak Presiden Jangan Dihambat

Dalam khasanah ilmu intelijen stratejik, dua pemikir intelijen di Amerika Serikat pernah memperdebatkan unsur kedekatan (proximity) antara kepala lembaga intelijen dengan Presiden sebagai pengguna (user).

Keduanya adalah guru besar CIA Sherman Kent dan mantan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Michael Gates.

Sebelum menjadi menteri pertahanan, Gates pernah juga menjabat sebagai direktur CIA periode 1991 -1993 di masa pemerintahan Presiden Bush senior.

Sherman Kent berpendapat bahwa seorang kepala lembaga intelijen haruslah orang yang profesional dan memiliki kapastitas di bidangnya, serta bebas dari kepentingan politik.

Kent beralasan, jika pimpinan intelijen mempunyai motif politik pribadi, maka hasil analisanya akan bias dan cenderung memihak pada kepentingan yang dekat dengan afiliasi politiknya.

Sedangkan Robert Gates justru berpendapat sebaliknya.

Menurutnya, kepala intelijen haruslah orang kepercayaan presiden dan orang yang sama garis politiknya dengan presiden.

Sebab, kepala intelijenlah yang akan memberi saran dan analisa sehari - hari untuk digunakan sebagai dasar mengambil kebijakan politik presiden.

“Keduanya memiliki argumen yang sama-sama kuat. Namun di Indonesia, semua Presiden mengikuti mahzab pemikiran Robert Gates. Sejak Soeharto hingga Jokowi, Presiden cenderung memilih Kepala BIN diisi sosok yang dipercayainya,” ujar alumni S2 Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia ini.

Sebagai contoh di zaman Orde Baru, kepala intelijen selalu dijabat orang kepercayaan Presiden Soeharto dan berlatar belakang militer.

Sutopo Juwono dan Yoga Soegomo adalah orang kepercayaan Soeharto dan sangat dekat dengan lingkaran keluarga Cendana.

Tidak hanya untuk posisi kepala, sejumlah nama besar yang dekat dengan Soeharto juga disisipkan dalam jabatan strategis di lingkungan intelijen.

Sebut saja Ali Moertopo yang mendampingi Sutopo Juwono sebagai Deputi Kepala BIN yang pada waktu itu masih bernama BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara).

Pada masa Presiden Megawati, Kepala BIN dipercayakan kepada Jenderal AM Hendropriyono.

Sosok Hendro bukan hanya dekat dengan Megawati, tapi juga dekat dengan PDI Perjuangan sebagai partai penguasa pada saat itu.

Hal yang sama juga terjadi di era Presiden SBY ketika menunjuk Sutanto dan Marciano Norman sebagai Kepala BIN. Keduanya merupakan orang dekat dan kepercayaan SBY.

Ridlwan menegaskan alasan memilih Kepala BIN dari orang kepercayaan adalah pilihan rasional presiden.

“BIN melayani single client yakni Presiden. Oleh sebab itu, seorang Kepala BIN harus orang yang bisa dipercaya oleh presiden. Jadi nanti sangat tergantung Presiden Prabowo untuk menunjuk figure yang sangat beliau percayai,” ujarnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas