Ini Perbedaan Transparansi Anggaran Era Gubernur Ahok dan Anies Baswedan
Perbedaan transparansi anggaran era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dengan Gubernur Anies Baswedan
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Sampai dengan tahun 2018, semua draft di setiap tahapan penganggaran itu masih rutin diunggah satu per satu ke dalam situs apbd.jakarta.go.id.
Situasinya mulai berbeda untuk anggaran tahun 2019.
Baca: Kekayaan Idham Azis Lebih dari Rp 5 Miliar, Berikut Rinciannya
Dalam situs yang diakses pada Rabu (30/10/2019) malam, draft yang diinput ke dalam situs adalah RKPD, KUA-PPAS hasil pembahasan bersama DPRD DKI, APBD, dan APBD Perubahan.
Tidak ada draft KUA-PPAS versi sebelum pembahasan DPRD DKI Jakarta.
Rancangan anggaran untuk tahun 2020 lebih parah lagi.
Tidak ada satu pun rencana anggaran untuk tahun 2020 yang diunggah ke dalam situs tersebut.
Padahal, saat ini Pemprov dan DPRD DKI Jakarta sedang melakukan pembahasan KUA-PPAS.
Perbedaan ini juga dibenarkan oleh Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono.
Adapun Gembong merupakan salah satu anggota Dewan yang mengikuti pembahasan anggaran para periode pemerintahan sebelumnya dan sekarang.
"Sekarang Pak Anies merasa karena belum ada pembahasan dengan DPRD, maka info itu tidak disampaikan ke publik," kata Gembong ketika dihubungi Kompas.com.
Ternyata, ini memang merupakan keinginan Anies Baswedan.
Anies Baswedan mengaku khawatir draft KUA-PPAS yang belum disepakati dengan DPRD DKI hanya akan menimbulkan kehebohan.
"Justru karena ada masalah-masalah seperti ini yang menimbulkan keramaian, padahal tidak akan dieksekusi," ujar Anies di Balai Kota, Jakarta, Rabu (30/10/2019).
Anies Baswedan baru akan mengunggah draft tersebut setelah Pemprov DKI dan DPRD DKI menyelesaikan pembahasan anggaran.
Akhirnya, masyarakat hanya bisa mengetahui rencana anggaran yang tak wajar dari anggota DPRD DKI Jakarta.
Fraksi Partai Solidaritas Indonesia menjadi yang paling sering menyebarkannya.
Sebut saja anggaran lem Aibon sebesar Rp 82,8 miliar, bolpoin sebesar Rp 124 miliar, dan komputer sebesar Rp 121 miliar.
Sistem yang disalahkan Anies tidak ingin mengunggah rencana anggaran yang belum disahkan.
Itu artinya, masyarakat hanya akan mengetahui program apa saja yang akan dikerjakan Pemprov DKI Jakarta setelah pembahasan selesai.
Tak ada ruang untuk mengkritik dan memberi masukan.
Selain soal transparansi anggaran, Anies juga berbicara tentang sistem e-budgeting itu sendiri.
Menurut Anies Baswedan, sistem digital ini tidak smart karena masih mengandalkan penelusuran manual untuk pemeriksaannya.
Dia juga mengkritik soal rancangan yang terlalu detail sampai satuan ketiga.
Dia memberi contoh program pentas musik dengan nilai anggaran Rp 100 juta.
Dalam sistem e-budgeting, anggaran tersebut harus diturunkan dalam bentuk komponen.
Menurut dia, rancangan anggarannya tidak perlu detail sampai pada satuan ketiga terlebih dahulu karena itu yang akan dibahas bersama DPRD DKI.
"Sehingga setiap tahun staf itu banyak yang memasukkan yang penting masuk angka Rp 100 juta dulu. Toh nanti yang penting dibahas," ujar Anies.
Dengan kata lain, KUA-PPAS diserahkan ke DPRD DKI secara gelondongan.
"Itu dokumen ada harus dicek manual, apakah panggung, mic, terlalu detail di level itu, ada beberapa yang mengerjakan dengan teledor (karena) toh diverifikasi dan dibahas," ujar Anies.
"Cara-cara seperti ini berlangsung setiap tahun. Setiap tahun muncul angka aneh-aneh," kata dia.
Anies Baswedan pun memberi sinyal tidak akan terus menggunakan sistem ini.
Dia ingin memakai sistem yang bisa memberi notifikasi langsung ketika ada anggaran yang tak wajar.
"Ini tinggal dibuat algoritma saja, if item-nya itu jenisnya Aibon, harganya Rp 82 miliar (padahal) sebenarnya harganya kan enggak semahal itu. Harganya Rp 20.000 atau Rp 30.000, terus totalnya mencapai puluhan miliar, pasti ada salah. Harusnya ditolak itu sama sistem," kata Anies Baswedan.
Bagaimana pantau uang rakyat? KUA-PPAS berisi rencana Pemprov DKI dalam menggunakan uang rakyat Jakarta.
Dengan demikian, Ketua Fraksi PDI-P DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono mengatakan sejatinya ini merupakan informasi publik.
Apalagi program yang diinput ke dalam sistem ini adalah hasil dari aspirasi masyarakat dalam musrenbang (musyawarah rencana pembangunan).
Adapun musrenbang merupakan forum bagi masyarakat menyampaikan usulan program kepada pemerintah.
Usulan tersebut disesuaikan dengan permasalahan yang ada di wilayah setempat, misalnya meminta perbaikan jalan, pembangunan jembatan, sekolah, dan lainnya.
Beberapa usulan nantinya akan masuk ke rencana anggaran Pemprov DKI dan dikerjakan pada tahun berikutnya.
Musrenbang digelar di tiap kota dan kabupaten.
"Maka, seharusnya itu dipublikasikan sejak perencanaan karena prosesnya ini dimulai dari musrenbang. Masyarakat harus tahu apakah aspirasinya saat musrenbang masuk atau tidak ke rancangan anggaran," kata dia.
Tanpa publikasi lewat situs apbd.jakarta.go.id, masyarakat tidak bisa ikut memelototi.
Tinggal terima jadi ketika perencanaan uang rakyat itu sudah disahkan.
Ketika sudah disahkan, program dalam APBD bisa dikerjakan, termasuk yang anggarannya tidak wajar.
Baca: Menengok Kembali Prestasi Kapolri Baru Idham Azis, dari Bom Bali hingga Kasus Novel Baswedan
Kini harapannya tinggal ada di anggota Dewan, wakil rakyat yang memiliki akses untuk melihat penyusunan anggarannya.
Mampukah benar-benar mengawasi uang rakyat Jakarta?
Penulis: Jessi Carina
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Beda Transparansi Anggaran Era Ahok dan Anies: Awalnya Bebas Diakses, Kini Harus Tunggu Sah Dulu