YLBHI: Jika RUU Perlindungan PRT Tidak Disahkan, Ini Lebih Buruk dari Zaman Kolonial
Sekretaris pertama Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) merasa geram pemerintah tidak memperhitungkan nasib pekerja rumah tangga.
Penulis: Randa Rinaldi
Editor: Rendy Sadikin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Nursyahbani Katjasungkana meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendukung profesi pekerja rumah tangga (PRT). Langkah ini bisa ditempuh dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pembantu Rumah Tangga (RUU PPRT).
"Kalau pemerintah engga menyetujui RUU PPRT, ini jauh lebih buruk dari zaman kolonial. Presiden bilang ini engga bermartabat itu darimana, ini kan pekerjaan halal," ujar Nusyahbani saat konferensi pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Minggu (15/2/2015).
Sekretaris pertama Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) merasa geram pemerintah tidak memperhitungkan nasib pekerja rumah tangga. Hal ini diperparah dengan ucapan Presiden Joko Widodo yang memilih altenatif lain terkait nasib PRT di luar negeri. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun dianggap menunda-nunda RUU PPRT yang telah direkomendasikan selama 11 tahun silam.
"Justru pekerjaan yang engga bermartabat itu adalah koruptor. APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) juga dikorupsi. Saat ini akses teman-teman PRT sangat terbatas," ucap anggota DPR RI tahun 2004-2009 dari Partai Kebangkitan Bangsa.
Perlindungan PRT dalam negeri sangat diperlukan dengan adanya peraturan khusus yang tertuang dalam undang-undang. Nantinya undang-undang ini bisa menentukan kebijakan pemerintah untuk mengirimkan PRT ke luar negeri. Bukan dengan cara menghapuskan pengiriman ke luar negeri.
"Bagaimana mungkin negara lain akan melindungi jika di dalam negeri saja tak dilindungi. UU PPRT hukan hanya untuk dalam negeri tapi juga untuk luar negeri," ucap Anggota Komisi Nasional Kekerasan terhadap Perempuan itu.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki Moon menghimbau pemimpin negara-negara untuk mendengarkan suara rakyat. Nusyahbani berpendapat, pemerintah hanya memperhatikan nasib rakyat jika akan mengambil suara rakyat sebelum pemilihan umum (Pemilu) berlangsung.
Namun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) malah berencana menghentikan pengiriman tenaga kerja pembantu rumah tangga (PRT) ke luar negeri karena terkait erat dengan harga diri dan martabat bangsa.
"Saya memberikan target kepada Menteri Tenaga Kerja untuk membuatkan roadmap yang jelas dan kapan kita stop yang namanya pengiriman PRT. Kita harus punya harga diri dan martabat," kata Jokowi dalam Munas II Partai Hanura, Jumat (13/2/2015) malam.