Tangisan Gus Mus yang Menyadarkan
Suara Gus Mus teduh tetapi tertahan.
Editor: Hasanudin Aco
Perbedaan ini berlanjut sampai pembahasan tata tertib. Jadwal muktamar pun molor. Pembahasan tata tertib yang semestinya dilakukan setelah Presiden Joko Widodo membuka muktamar pada Sabtu malam terpaksa ditunda karena persoalan registrasi peserta belum selesai.
Ketika akhirnya pembahasan tata tertib dilakukan pada Minggu siang, perbedaan pendapat antara muktamirin yang setuju AHWA dan yang menolak membuat sidang pembahasan tata tertib mengalami kebuntuan (deadlock) pada malam harinya. Sidang diputuskan ditunda hingga Senin. Namun, hingga Senin siang tak ada tanda-tanda pembahasan tata tertib dilanjutkan.
Senin siang itu, Gus Mus menggelar pertemuan dengan sejumlah kiai sepuh NU dari seluruh Indonesia di Pendopo Kabupaten Jombang. Hasil musyawarah para kiai sepuh inilah yang disampaikan Gus Mus saat sidang pembahasan tata tertib mulai dilanjutkan pukul 14.30.
Gus Mus bercerita, dalam pertemuan bersama kiai-kiai sepuh itulah, mereka prihatin dengan kegaduhan muktamar. Dia mengingatkan, memang tak banyak solusi yang disepakati. Namun, sidang-sidang dalam muktamar NU jangan sampai seperti sidang di DPR.
"Cuma sedikit yang kami sepekati untuk solusi agar tidak sama dengan di Senayan. Pertama, apabila ada pasal yang belum disepakati dalam muktamar tentang pemilihan rais aam, tak bisa melalui musyawarah mufakat, maka akan dilakukan pemungutan suara oleh para rais syuriah," ujarnya.
Tangisan dan ketegasan Gus Mus sebagai ulama sepuh NU akhirnya menyelesaikan semua kegaduhan muktamar. "Kalau nanti Anda-Anda tidak bisa disatukan lagi, maka saya dengan para kiai memberikan solusi, kalau bisa musyawarah, kalau tak bisa pemungutan suara. Itu AD/ART kita. Karena ini urusan pemilihan rais aam, maka kiai- kiai akan memilih pemimpin kiai," katanya.
Setelah Gus Mus selesai bicara, pemimpin sidang menyerukan kepada muktamirin, apakah setuju dengan penyelesaian tersebut. Semua menyatakan setuju. Tak ada lagi perbedaan dan kegaduhan. Kali ini, suara shalawat muktamirin yang bersahutan. (KHAERUDIN/ANTONY LEE)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Agustus 2015, di halaman 4 dengan judul "Tangisan Gus Mus yang Menyadarkan".