RKUHP Versi Pemerintah Dinilai Masih Kental Nuansa Kolonialisme
Menurut dia, RKUHP berperspektif pemenjaraan dan sangat represif membuka ruang kriminalisasi melebihi KUHP produk kolonial
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi Nasional Reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menilai RKUHP yang sedang dibahas oleh DPR sebagai produk lebih kolonialistik daripada yang selama ini berlaku.
Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu mengatakan, hampir semua rumusan KUHP lama masih ada dalam draft RKUHP.
Menurut dia, RKUHP berperspektif pemenjaraan dan sangat represif membuka ruang kriminalisasi melebihi KUHP produk kolonial.
Baca: Buang Rokok Sebelum Tanjakan Emen Diyakini Bisa Buang Sial, Warga: Itu Sudah Tradisi
Dia menilai, RKUHP menghambat proses reformasi peradilan. Alasannya, karena memuat sejumlah kriminalisasi baru dan ancaman pidana yang sangat tinggi.
Hal ini dapat menjaring lebih banyak orang ke dalam proses peradilan dan menuntut penambahan anggaran infrastruktur peradilan.
"Banyak peraturan tambahan yang disinyalir berdampak negatif pemenuhan dan perlindungan HAM dan mengancam kebebasan sipil warga negara. RKUHP memuat 1.251 perbuatan pidana, 1.198 diantaranya diancam pidana penjara. Kebijakan ini akan semakin membebani permasalahan lembaga pemasyarakatan yang kekurangan kapasitas," kata dia, dalam sesi jumpa pers di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (11/2/2018).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyu Wagiman, menambahkan RKUHP lebih dari 90 persen mengandung ancaman pidana sehingga lembaga pemasyarakatan akan penuh dengan orang yang dihukum.
Baca: Penyerangan di Gereja Sleman, Umat Diimbau Tidak Termakan Hasutan Adu Domba
Atas dasar tersebut, RKUHP dinilai lebih kolonialistik, menurut Wahyu terdapat banyak ancaman pidana yang lebih tinggi dari KUHP yang dibuat Belanda.
Contohnya, penghinaan fitnah yang awalnya empat tahun menjadi lima tahun. Penghinaan lisan dari sembilan bulan menjadi satu tahun.
"Untuk memberikan rasa takut pada warga negara. Ancaman pada warga negara lebih besar daripada perlindungan pada warga negara itu sendiri. Ada pidana minimum juga, kalau kita compare agak lucu, katanya mau dekolonialisasi," kata dia.
Untuk itu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menuntut Presiden Joko Widodo dan DPR menghentikan seluruh usaha mengesahkan RKUHP yang masih memuat banyak permasalahan dan masih mengandung rasa penjajah kolonial itu.