Prof Taruna Ikrar Luncurkan Buku Terbaru 'Gagasan Indonesia Modern Berbasis Neuroleadership'
Buku berjudul "Gagasan Indonesia Modern Berbasis Neuroleadership" ini diluncurkan di Amerika Serikat kemarin.
Editor: Hasanudin Aco
Pada 2030 perekonomian Indonesia akan menggeser posisi Rusia dan Brazil, dan pada 2050 akan menggeser posisi Jepang. Tiga negara yang akan lebih besar dari Indonesia berturut-turut adalah China, India, dan Amerika Serikat.
Baik dari segi demokrasi dan ekonomi, demikian pula dalam semua sektor kemajuan Indonesia, sangat ditentukan oleh kepemimpinan.
Olehnya, untuk menggapai kemajuan pesat tersebut dibutuhkan pemimpin yang hebat. Kepemimpinan Indonesia dapat dilihat dalam perpektif neurosains yang disebut Neuroleadership.
Kemudian, secara demografi, Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia.
Banyaknya jumlah populasi ini hendaknya dibarengi dengan kemampuan me-manage dan memimpin Indonesia agar siap menghadapi persaingan global, termasuk juga bonus demografi yang dapat memberi keuntungan besar bagi Indonesia, atau justru kerugian karena tidak adanya persiapan.
Buku ini disusun atas dasar mempersiapkan Indonesia yang lebih baik dan Modern dalam makna yang hakiki.
Dahulu Bung Karno, bapak proklamator Indonesia pernah berkata, “Jangan pernah melupakan sejarah!” Seperti itu pula semangat yang hendak dihadirkan melalui buku ini, karena sebagian besar buku ini berisi uraian Prof. Dr. Taruna Ikrar yang dibahas berdasarkan alur pemikiran seorang neurosaintis.
Sehingga, topik yang dibahas pun amat beragam dari skala lokal sampai internasional, dari iman sampai hard science, dari kejahatan sampai soal Tuhan, dari soal korupsi sampai pemilu.
Yang menarik dari kesemua catatan ini, bahwa semuanya saling terhubung dan melengkapi, seperti halnya rangkaian sinaps yang terjalin di dalam otak, dengan premis dasar yang sangat jelas: ajakan untuk optimistik dalam memandang masa depan.
Dalam buku ini, Penulis dengan jujur merumuskan dan kemudian mengurai setiap persoalan apa adanya, tanpa niatan untuk merelatifkan apalagi menutupinya.
Bahkan, melalui tulisan-tulisan itu, kita bisa ikut merasakan betapa geramnya penulis melihat persoalan yang diulasnya.
Melihat korupsi yang justru melibatkan petinggi mahkamah konstitusi; melihat manajemen kesehatan yang porak poranda; melihat calon presiden yang miskin visi internasional; melihat diabaikannya para cerdik pandai; melihat radikalisme berbungkus agama; dan sebagainya.
Tetapi pada saat yang sama, sesuai dengan kapasitasnya, Prof. Dr. Taruna Ikrar enggan terjebak dalam kegenitan “asal komentar.”
Dalam artikel-artikelnya dia banyak menghindari memberikan resep solusi yang instan. Dalam sebagian artikel dia lebih memilih menyerukan perubahan cara berpikir, yang secara berkelanjutan bisa dijadikan perangkat untuk mencari solusi; sementara pada artikel yang lain dia memilih untuk membantu menempatkan persoalan dalam perspektif yang semestinya.