Prof Taruna Ikrar Luncurkan Buku Terbaru 'Gagasan Indonesia Modern Berbasis Neuroleadership'
Buku berjudul "Gagasan Indonesia Modern Berbasis Neuroleadership" ini diluncurkan di Amerika Serikat kemarin.
Editor: Hasanudin Aco
Semua orang perlu yakin bahwa mereka memiliki peluang tumbuh dan berkembang tanpa batas. Di sinilah seorang leader berhadapan dengan mentalitas pribadi-pribadi yang dipimpinnya.
Mentalitas itu tercipta dari pengalaman, pendidikan, sejarah hidup, dan lingkungan. Dalam realitas memang ada orang-orang yang memiliki mentalitas dan pola pikir bertumbuh (growth mindset).
Mereka adalah orang-orang yang optimis melihat masa depan, karena yakin bahwa masa depan yang lebih baik bisa diperjuangkan bersama. Tetapi sebaliknya ada juga orang-orang yang “merasa sudah jadi”. Mereka selalu mengklaim “saya ya seperti ini.”
Mereka tidak mau berubah dan selalu berkilah “saya punya prinsip.” Orang seperti ini cenderung tertutup terhadap aneka kemungkinan baru (fixed mindset). Kalau di sini dipakai istilah “cenderung”, karena pada dasarnya tidak ada orang yang 100% berpola pikir bertumbuh atau 100% berpola pikir tetap.
Catatan ini perlu dikemukakan karena banyak leaders yang berpikir begitu. Bahkan banyak yang berpikir bahwa pembagian itu sedemikian mekanistis sehingga bisa dilakukan proses switch dari fixed mindset ke growth mindset.
2. Memimpin Transformasi. Dalam diri setiap manusia terdapat baik kecenderungan untuk tak mau berubah maupun kecenderungan untuk berubah. Ini menyangkut baik sikap mental maupun cara berpikir (mindset).
Tetapi pada saat yang sama kita menyadari bahwa mentalitas dan pola pikir bertumbuhlah yang akan membawa kita pada realitas baru yang kita impikan, yakni realitas baru Indonesia modern.
Di sanalah terletak tugas seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus mampu (1) menyadarkan orang tentang perlunya hijrah dari fixed mindset menuju growth mindset, dan (2) harus mampu memimpin hijrah itu sendiri.
Menggunakan terminologi hijrah, dalam neuroleadership ada satu “situasi jahiliah” yang perlu disadari dan dipikirkan. By default manusia akan bekerja dengan otak emosinya; dengan reptilian-brain-nya. Ketika mengambil keputusan atau merespon sesuatu, pertama-tama yang akan muncul adalah logika emosinya.
Ketika harus memilih makanan, minuman, teman, pasangan hidup, bahkan pilihan politik, pertimbangan yang pertama muncul adalah manakah yang menyenangkan hati; mana yang lebih memuaskan. Proses pemilihan lebih didasarkan pada faktor suka atau tidak suka.
Alasan rasional biasanya baru menyusul kemudian, lebih sebagai alat pembenar. Yang terakhir ini bukan penemuan yang terlalu baru. Sudah lama para pembuat iklan, perancang kampanye politik, dan para negosiator bisnis memanfaatkan fakta itu.
Dengan pengetahuan yang mereka miliki, mereka memengaruhi kelompok sasaran untuk menyukai atau tidak menyukai sesuatu, sehingga kemudian mudah diarahkan pada keputusan tertentu.
Lihat saja iklan-iklan rokok yang justru mentertawakan bahaya merokok. Justru lelucon itu yang kemudian menyebar dan menciptakan deep connection antara masyarakat dengan produsen rokok.
Atau contoh yang lebih mendunia, bagaimana Cambridge Analytica, yang mampu “menaklukkan” masyarakat yang berpikir maju seperti Inggris dan Amerika, hingga Brexit dan Trump menang atas lawannya. Otak emosi adalah bagian otak yang paling purba.
Dia ada pada binatang yang paling primitif, yakni kelompok reptil. Itu sebabnya otak emosi disebut dengan reptilian brain. Secara umum dia bekerja untuk tujuan survival. Karena itu dia hanya melihat segala sesuatu dari dua sisi: ancaman atau kesempatan.
Kalau dalam dunia motivasi kita mengenal istilah reward dan punishment, sesungguhnya yang sedang dieksploitasi dalam proses motivasi itu adalah otak reptil seseorang. Dan fakta brutal yang kita hadapi adalah bahwa sebagian besar manusia mendasarkan keputusannya pada otak emosi ini.
Orang mengambil keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena takut terjadi sesuatu yang buruk atau membahayakan, atau demi mendapatkan sesuatu. Padahal manusia, atau kelompok homo sapiens, memiliki otak modern, yakni otak sadar atau otak berpikir. Betapapun secara volume bagian ini kecil, otak sadar inilah yang membedakan manusia dari makhluk hidup yang lain.
Otak inilah yang membuat orang memiliki kesadaran diri; membuat orang bisa memiliki sistem nilai; bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik; bahkan bisa membuat orang berpikir transenden, memikirkan hal-hal yang melampaui apa yang tertangkap oleh indra. Otak modern membawa orang ke tahap bijaksana.
Akhirnya, buku ini sebagai wahana baru dalam memandang kepemimpinan berbasis neurosains, sehingga sangat layak menjadi referensi ilmu kepemimpinan.