Effendi Ghazali: MK Memang Tidak Bisa Membuat Undang-undang, Tapi Bisa Mencegah Bangsa Ini Terbelah
Effendi Ghazali mengatakan seharusnya Mahkamah Konstitusi (MK) dapat mencegah masyarakat terbelah dengan dihilangkannya Presidential Threshold.
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Adi Suhendi
Kegeraman berlanjut usai mendengarkan putusan Hakim Konstitusi yang menolak seluruh dalil permohonannya. Dia menolak diwawancarai terlebih dahulu sebelum semua wartawan yang meliput di MK saat itu berkumpul semuanya.
"Kumpul dulu semuanya, saya tidak akan bicara ini lagi dan tidak ada tanya jawab," kata dia sembari menunggu.
Baca: Kenapa Kamu Harus Pakai Hak Pilihmu di Pemilu Serentak 2019
Suaranya mulai meninggi ketika dirinya menjelaskan semua pertimbangan hakim konstitusi tidak masuk akal dan dinilai sudah melakukan pembohongan publik. Bahkan, tak segan dia melontarkan kata "sontoloyo" kepada hakim usai persidangan.
"Seluruh pertimbangan hakim enggak masuk akal. Pertimbangannya mengandung kebohongan dan sotoloyo. Cocok dengan pernyataan presiden, telah dilakukan oleh hakim MK ini kebohongan publik dan sontoloyo," kata dia dengan suara meninggi.
Matanya masih terlihat memerah, bibirnya gemetar, jemari tangannya menunjuk ke arah wartawan. Dia menegaskan menolak bertanggung jawab atas kekacauan yang dinilai akan terjadi pada saat pemilu serentak 2019 mendatang. Pasalnya, dirinya sudah berupaya untuk mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi.
"Kalau Pemilu serentak ini menjadi yang paling kacau, maka bukan salah saya Effendi Ghazali, tapi salah pembentuk undang-undang dan hakim MK," tegasnya.
Baca: Bos Ducati dan Legenda MotoGP Ini Sehati Soal Cara Taklukan Marc Marquez
Pakar Komunikasi Politik itu juga mengaku menyesal ketika dirinya sempat menjadi salah satu pemohon agar Pemilu di Indonesia menjadi serentak seperti saat ini.
"Pemilu serentak ini, dulu saya yang mengajukan. Dengan adanya presidential threshold seperti ini menyesatkan. Sebaiknya kembalikan lagi saja seperti Pemilu sebelumnya. DPR dulu kemudian presiden," tegasnya.
"Lima tahun ke depan, bangsa kita ini akan terus berkelahi, terbelah, di sana sini ada penghadangan, kebohongan, kebencian karena ada PT tadi. Sehingga calonnya hanya tinggal dua dan yang luar biasa, karena pembentuk undang-undang dan hakim MK," tukasnya.
'Kematian' Demokrasi
Wasekjen Partai Demokrat, Didi Irawadi menyesalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai uji materiil ambang batas capres atau presidential threshold (PT) dalam UU Pemilu.
"Menurut hemat saya, putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan konstitusi dan akal sehat," katanya saat dihubungi.
Dia menilai ke depan, hanya partai-partai besar saja yang punya peluang untuk dapatkan posisi Presiden. Sementara partai menengah apalagi partai kecil hanya akan jadi sekadar penggembira. "Partai baru lebih parah lagi, muncul sebentar selanjutnya bisa langsung hilang," lanjutnya.
Oleh karenanya kelak, partai-partai kecil, atau partai yang baru akan tersapu habis oleh sistem yang seperti ini.