KPK Berpotensi Jerat Lippo Jadi Tersangka Korporasi Dalam Kasus Proyek Meikarta
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpotensi mengembangkan kasus suap perizinan proyek Meikarta untuk menjerat Lippo dengan pidana korporasi.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Untuk merealisasikan janji pemberian suap sebelumnya, imbuh Saut, atas persetujuan Bartholomeus, pegawai PT Lippo Cikarang pada divisi land acquisition and permit mengambil uang dari pihak PT Lippo Cikarang dan Bartholomeus di helipad PT Lippo Cikarang dengan jumlah total Rp10,5 miliar.
"Setelah itu, uang diberikan pada Bupati Neneng melalui orang kepercayaannya dalam beberapa tahap. Tersangka BTO diduga menyetujui setidaknya 5 kali pemberian tersebut kepada Bupati Neneng, baik dalam bentuk dolar Amerika dan rupiah dengan total Rp10,5 miliar," kata Saut.
Atas perbuatannya, Bartholomeus melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Minta Rp 1 miliar
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut bahwa Sekretaris Daerah Jawa Barat, Iwa Karniwa, meminta uang senilai Rp 1 miliar kepada Kepala Bidang Penataan Ruang Dinas PUPR Kabupaten Bekasi, Neneng Rahmi Nurlaili.
Permintaan uang tersebut dilakukan terkait pengurusan Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Bekasi Tahun 2017.
RDTR itu menjadi bagian penting untuk mengurus proyek pembangunan proyek Meikarta di Kabupaten Bekasi.
Awalnya, pada 2017 Neneng Rahmi menerima sejumlah uang terkait dengan pengurusan RDTR Kabupaten Bekasi yang kemudian diberikan kepada beberapa pihak dengan tujuan memperlancar proses pembahasannya.
"Sekitar Bulan April 2017, setelah masuk pengajuan Rancangan Perda RDTR, Neneng Rahmi Nurlaili diajak oleh Sekretaris Dinas PUPR untuk bertemu pimpinan DPRD di Kantor DPRD Kabupaten Bekasi. Pada pertemuan tersebut Sekretaris Dinas PUPR menyampaikan permintaan uang dari Pimpinan DPRD terkait pengurusan tersebut," ucap Wakil Ketua KPK, Saut Situmotang, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (29/7/2019).
Saut mengatakan setelah disetujui DPRD, rancangan Perda RDTR Kabupaten Bekasi Bekasi kemudian dikirim ke Provinsi Jawa Barat untuk dilakukan pembahasan.
Baca: KPK Tetapkan Sekda Jabar dan Eks Presdir Lippo Cikarang Sebagai Tersangka Suap Izin Proyek Meikarta
Baca: 6 FAKTA Pria Mati Hidup Lagi di Sampang, Penyebab Bangkit Kembali hingga Kuburan Sudah Digali
Baca: Soal FPI, Menhan: Jika Tak Taat Pancasila, Silakan Pergi
Baca: Keliling Korea Selatan Lebih Praktis Naik Kereta, Cek Rute dan Jenisnya
Namun, Raperda itu tidak segera dibahas oleh kelompok kerja (Pokja) Badan Koordinasi Penataan ruang Daerah (BKPRD) padahal dokumen pendukung sudah diberikan.
Untuk memproses RDTR itu, Neneng Rahmi harus bertemu dengan Sekda Jabar, Iwa Karniwa.
"Neneng Rahmi kemudian mendapatkan Informasi bahwa tersangka IWK (Iwa Karniwa) meminta uang Rp 1 miliar untuk penyelesaian proses RDTR di Provinsi," kata Saut.
Saut menyatakan permintaan tersebut diteruskan kepada salah satu karyawan PT Lippo Cikarang dan direspons bahwa uang akan disiapkan.