Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Disahkan Bulan Ini, RKUHP Dinilai Ancaman Bagi Kebebasan Pers dan Memudahkan Kriminalisasi Jurnalis

Salah satu pasal tersebut memuat ancaman penjara bagi orang yang dianggap menghina presiden.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Disahkan Bulan Ini, RKUHP Dinilai Ancaman Bagi Kebebasan Pers dan Memudahkan Kriminalisasi Jurnalis
Gita Irawan
Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyampaikan tujuh catatan sebagai alasan kuat untuk menolak pengesahan RKUHP dengan rumusan yang saat ini ada yakni draft tertanggal 29 Juni 2019 saat konferensi pers di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat pada Senin (26/8/2019). 

"Pasal yang menghubungkan bahwa, ketika itu (pidana) dilakukan oleh pers, maka dia harus wajib diselesaikan dulu dengan UU Pers," katanya.

Selama ini, menurut Fickar, aturan dalam UU Pers digunakan untuk menyelesaikan sengketa produk jurnalistik berdasarkan kebijakan dari kepolisian.

"Kalau penyidik atau Kapolrinya bilang itu masuk Dewan Pers dulu, jalan. Kalau nggak ya nggak jalan, karena itu nggak ada ketentuannya," tambah Fickar.

Dua pasal 'paling kontroversial'

Dari sederet pasal yang dikritik komunitas Pers, DPR kemungkinan hanya akan menambahkan keterangan Pasal 281 terkait dengan pemberitaan yang bisa mempengaruhi hakim.

Anggota Komisi Hukum DPR, Taufiqulhadi pasal tersebut akan diberikan keterangan lanjutan. "Jadi nanti hakim tidak sewenang-wenang menggunakan hal tersebut (mempidanakan). Tetapi tidak akan kita cabut," katanya.

Taufiq menambahkan, dasar kemunculan pasal ini adalah menjaga wibawa pengadilan, terutama hakim.

Berita Rekomendasi

Dari hasil evaluasi, selama ini hakim yang mengadili sidang kasus yang sedang menjadi perhatian publik tertekan karena pers.

"Ketika dia (hakim) hadir, kamera di dalam (ruang sidang). Hakim itu tidak hadir dengan dirinya, tapi dia akan ditekan dari publik. Keputusannya, jadi apa yang terjadi tidak normal," kata Taufiq.

Sementara itu, Pasal 291 dan 241 tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, DPR juga punya alasan serupa, menjaga kewibawaan kepala negara. "Jika tidak ada wibawa maka dia tidak memiliki kemampuan untuk memerintah secara baik," tambah Taufiq.

Namun menurut Pakar Hukum Pidana, Abdul Fickar Hadjar mengatakan pasal-pasal ini masih kontroversial.

Misalnya dalam Pasal 281, menurutnya, sulit bagi pers untuk dilarang meliput.

"Karena ketika sidang dibuka, itu dinyatakan untuk umum. Artinya bisa dilihat siapa pun," katanya. Begitu pula dengan Pasal 291 dan 241.

Halaman
1234
Sumber: BBC Indonesia
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas