Perpres TNI untuk Tangani Terorisme Dinilai Rancu dan Picu Tumpang Tindih
banyak pasal dalam draf Perpres tersebut yang rancu dan berpotensi tumpang tindih, bertabrakan dengan badan atau lembaga lain.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Desakan untuk menolak pembahasan dan pengesahan Rancangan Peraturan Presiden (R-Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme terus bergulir dari banyak penjuru.
Satu di antaranya datang dari Rafendi Djamin, Komisioner Komisi Hak Asasi Manusia Antar-Pemerintah ASEAN (AICHR).
Rafendi tak menepis kemungkinan adanya niat baik dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk membantu menangani persoalan pertahanan dan keamanan.
Baca: Miftahul Ulum Sebut Achsanul Qosasi dan Adi Toegarisman di Sidang Korupsi, Ini Respons KPK
Baca: BREAKING NEWS Update Corona 17 Mei 2020: Total 17.514 Kasus Positif, 4.129 Sembuh, 1.148 Meninggal
Apalagi, UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pun memberi ruang kepada tentara untuk terlibat dalam penanggulangan terorisme.
Masalahnya, banyak pasal dalam draf Perpres tersebut yang rancu dan berpotensi tumpang tindih, bertabrakan dengan badan atau lembaga lain.
”Kalau dicermati, keberadaan Perpres tersebut bukan hanya tidak akan mengurangi ancaman atau mencegah dan melakukan pemulihan (akibat terorisme) secara efektif. Yang berpeluang terjadi justru timbulnya kerancuan di tingkat pelaksanaan,” ujar Rafendi Djamin, dalam keterangan kepada pers di Jakarta, Sabtu (16/5/2020).
Menurut Rafendi, isu seputar pelibatan TNI dalam menangani terorisme pada dasarnya masuk ke dalam dua ranah.
Yakni, ranah penegakan hukum dan ranah dalam situasi perang. Ranah penegakan hukum itu bukan wilayah TNI, yang tugas dan fungsinya lebih ke urusan pertahanan.
Karena itu, ketika tentara kemudian masuk ke ranah hukum, yang akan terjadi adalah kekacauan di lapangan karena terjadi tumpang tindih peran dengan badan atau lembaga lain.
”Terutama karena kita punya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang menurut undang-undang menjadi leading sector dalam pencegahan hingga pemulihan terorisme,” kata Rafendi.
Tumpang tindih dimungkinkan terjadi karena pada dasarnya terorisme adalah ”objek hukum pidana.”
Sebagaimana pidana lain, yang bertugas menanganinya adalah penegak hukum seperti Polri.
Sementara TNI, sejak awal, tidak pernah didesain untuk menjalankan fungsi penegak hukum.
Tugas mereka, sebagaimana diatur dalam UUD 1945, adalah menjalankan fungsi pertahanan nasional, yakni menjaga negara dari ancaman militer luar negeri.