Fakta tentang Film G30S/PKI: Tak Wajib Ditayangkan Sejak 1998 hingga Polemik DN Aidit Merokok
Film ini dibuat untuk mengenang peristiwa kelam pembunuhan 6 jenderal dan satu perwira TNI atau yang lebih dikenal sebagai Pahlawan Revolusi.
Penulis: Daryono
Editor: Whiesa Daniswara
"Saya tumbuh dengan bahasa-bahasa film yang lebih modern dibandingkan dengan apa yang ada di film tersebut," ujar Bayu, yang juga berprofesi sebagai dosen.
4. Jalan Cerita dan Beberapa Adegan Tua Perdebatan
Pasca-Orde Baru runtuh, sejumlah pihak menyoroti kebenaran cerita film G30S/PKI.
Sejumlah adegan dan penggambaran sosok dalam film juga dipertanyakan karena dianggap tak sesuai dengan kenyataan.
Di antaranya adalah soal adegan DN Aidit merokok.
Baca: Kader PDIP Kritisi Pernyataan Gatot Nurmantyo Soal Pergantian Jabatannya karena Putar Film G30S/PKI
Mengutip Intisari, menurut anak DN Aidit, Ilham Aidit, penggambaran ayahnya merokok tidaklah benar.
Namun, majalah Intisari yang terbit pada Maret 1964 berisi keterangan yang sebaliknya.
Intisari yang melakukan wawancara dengan DN Aidit selama dua jam itu menerangkan bahwa tokoh PKI tersebut banyak minum, merokok, dan menikmati secangkir kopi pahit.
Perwira TNI yang menjadi eksekutor Aidit bercerita saat penangkapan Aidit di Solo.
Ada puntung rokok yang sempat dinikmatinya.
Sebelum dieksekusi mati, Aidit juga sempat meminta rokok kepada petugas pemeriksa.
Adegan lainnya yang dipersoalkan adalah mata dicongkel yang dinilai tak sesuai dengan fakta.
Baca: Arief Poyuono soal Gatot Diganti Gegara Nobar Film G30S/PKI: Isu Basi Selalu Ditiup Tiap September
Imelda Bachtiar, penulis memor kesejarahan, mewawancarai dr Liem Joe Thay yang kemudian lebih dikenal dengan Prof Arief Budianto, kini telah almarhum, Guru Besar Kedokteran Forensik UI.
Ia salah seorang dokter non-militer yang saat itu diminta bergabung dengan Tim Kedokteran ABRI untuk memeriksa mayat enam perwira tinggi dan satu perwira pertama korban, pada malam 4 Oktober sampai dini hari 5 Oktober 1965.
Bagian terpenting dari wawancara itu yang juga dikutip oleh Julius Pour dalam bukunya Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan dan Petualang (Penerbit Buku Kompas, 2010) adalah ketika Prof Arief menyatakan, “Satu lagi, soal mata yang dicongkel. Memang, kondisi mayat ada yang bola matanya copot, bahkan ada yang sudah kontal-kantil. Tetapi itu karena sudah tiga hari terendam air di dalam sumur dan bukan karena dicongkel paksa. Saya sampai periksa ulang dengan saksama tapi matanya dan tulang-tulang sekitar kelopak mata. Apakah ada tulang yang tergores? Ternyata tidak ditemukan...”
Agus Surono bertanya pada Prof Arief, mengapa di film ada adegan penyiksaan yang sadis dengan mencungkil bola mata, “Itu semua tidak ada, pemeriksaan mayat membuktikannya. Film itu kan propaganda Orde Baru,” demikian Prof Arief.
(Tribunnews.com/Daryono) (Intisari/Agus Surono) (Kompas.com/Luthfia Ayu Azanella)