Dokumen Final UU Cipta Kerja Belum Bisa Diakses Publik, Dikhawatirkan Masuknya Pasal Selundupan
Seorang pakar hukum tata negara menyebut sesuai aturan, dokumen itu wajib dibuka ke masyarakat begitu disetujui.
Editor: Hasanudin Aco
Bukhori menyebut ada kemungkinan tim ahli DPR masih memperbaiki redaksional undang-undang yang berjumlah hampir 1.000 halaman itu.
"Ini kan bukan pasal yang sedikit, tapi meliputi ribuan halaman dan ribuan pasal turunan. Makanya kita ingatkan sejak awal, supaya lebih hati-hati dan tidak tergesa-gesa."
Sebelumnya, Ketua Baleg DPR, Supratman Andi Agtas menjanjikan draf itu dapat diakses pada awal pekan depan atau Senin (12/10).
Tapi saat BBC Indonesia bertanya kepada Wakil Ketua Baleg DPR, Ahmad Baidhowi, ia enggan berkomentar dan melempar ke pimpinan DPR. Sementara itu, Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin menyerahkan persoalan ini ke Badan Legislasi.
"Itu porsi mereka yang di Baleg," kata Aziz Syamsuddin kepada BBC melalui pesan singkat, Minggu (11/10).
Baca: Pengamat Politik: Ada Masalah Komunikasi Politik Pemerintah dan DPR dalam RUU Cipta Kerja
Sementara Juru Bicara Presiden Joko Widodo, Fadjroel Rahman juga tidak berkomentar banyak.
"Silakan ke Setjen DPR," katanya.
'Publik harus bisa mengakses UU Cipta Kerja karena mengatur hajat hidup orang banyak'
Kendati salinan akhir belum diperoleh, draf Undang-Undang Cipta Kerja tertanggal 5 Oktober 2020 yang berjumlah 905 halaman telah beredar di masyarakat. Hanya saja, dokumen itu disebut beberapa anggota Baleg DPR bukanlah versi final.
Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri kemudian menyebut pasal-pasal yang beredar di media sosial sebagai hoaks.
Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP), Cecep Suryadi, mengatakan dokumen akhir Undang-Undang Cipta Kerja harus dibuka kepada publik karena aturan di dalamnya menyangkut hajat hidup orang banyak.
"Jelas sangat penting diakses publik, karena undang-undang itu mengatur hajat hidup orang banyak. Ada terkait dengan sistem tenaga kerja, kontrak, sehingga kementerian harus membuka ruang-ruang diskusi ke masyarakat luas," ujar Cecep Suryadi kepada BBC News Indonesia.
"Agar masyarakat benar-benar mengetahui apa substansi yang di kandung di undang-undang itu."