UU Cipta Kerja Diharapkan Bisa Melindungi Pelaut Indonesia
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atas usulan Pemerintah baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atas usulan Pemerintah telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Pengesahan tersebut memang memantik protes, salah satunya dari kalangan buruh.
Namun, hal itu tidak membuat Pemerintah kendur untuk memberlakukan RUU tersebut.
Ketua Forum Komunikasi Maritim Indonesia (Forkami) James Talakua mengatakan setelah RUU Cipta Kerja disahkan menjadi UU, maka sudah seharusnya Pemerintah melaksanakan amanah UU tersebut dengan sebaik-baiknya.
Salah satunya adalah bagaimana asas penyelenggaraan UU Cipta Kerja dilaksanakan sebaik-baiknya.
Baca juga: Tanggapi Moeldoko, KSBSI: Kami Menolak karena Hak Kami Hilang oleh UU Cipta Kerja
Menurut dia, RUU Omnibuslaw yang sudah disahkan tersebut, diselenggarakan berdasarkan asas pemerataan hak, kepastian hukum, kemudahahan berusaha, kebersamaan dan kemandirian.
“Asas ini harus bisa dijalankan sebagai bukti bahwa UU Omnibuslaw disusun demi kepentingan negara,” kata James dalam keterangannya, Senin (19/10/2020).
Salah satu yang menjadi sorotan Forkami adalah lemahnya kehadiran Pemerintah dalam melindungi pelaut Indonesia di luar negeri yang menjadi korban kriminalisasi sehingga hingga saat ini, masih terjadi kasus-kasus dimana pelaut Indonesia kurang terlindungi, baik pelaut pada kapal niaga maupun kapal ikan.
Baca juga: Ketidakyakinan Buruh Atas Lapangan Kerja Baru dan Klaim Respon Positif Dunia Terhadap UU Cipta Kerja
Salah satu pelaut yang menjadi korban kriminalisasi dan terbaru adalah adalah Kapten Sugeng Wahyono, nahkoda Kapal MT Celosia, pelaut Indonesia yang selama hampir dua tahun terakhir, menjadi tahanan kota di Ranong, Thailand, atas tuduhan pelanggaran tindak kriminal yang tidak dilakukannya.
Kapten Sugeng dituduh menyelundupkan kargo minyak pelumas yang dibawa dari Malaka, Malaysia dan sampai di Ranong, Thailand pada 8 Januari 2019.
Pengirim sekaligus pemilik kargo tersebut sangat jelas, yaitu perusahaan negara Malaysia Petronas yang mempunyai reputasi internasional.
Sedangkan penerima kargo juga perusahaan ternama yang mempunyai reputasi internasional yaitu Schlumberger. Akan tetapi, pihak Bea dan Cukai Ranong, Thailand tetap menuduh sang Kapten Sugeng membantu penyelundupan.
Baca juga: Demokrat Sambut Baik Ide dan Gagasan Pembatalan UU Cipta Kerja Lewat Legislative Review
Menurut dia, salah satu ujian pertama negara dalam menerapkan asas RUU Omnibuslaw adalah bagaimana warga negara di luar negeri mendapatkan hak keadilannya tersebut.
“Kalau Omnibuslaw benar-benar berasaskan pemerataan hak, negara harus hadir dengan membantu warganya yang menjadi korban kriminalisasi seperti yang dialami Kapten Sugeng ini,” kata.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.