DPR: RUU TPKS Untuk Melindungi Korban Dalam Mencari Keadilan Hukum
RUU TPKS penting untuk menjadi payung hukum yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP, UU KDRT, UU TPPO, UU Pornografi, dan lainnya.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Adi Suhendi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Panja RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Willy Aditya mengatakan RUU tersebut penting untuk menjadi payung hukum yang sebelumnya tidak diatur dalam KUHP, UU KDRT, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang/Traficking, UU Pornografi, dan sebagainya.
Sebab, banyak korban TPKS ketika melapor kepada polisi malah menjadi tersangka.
Seperti Baiq Nuril di NTB dan lain-lain.
"Jadi, RUU TPKS ini dibutuhkan dalam dua ranah, yaitu ranah bagi korban bisa mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum, dan kedua bagaimana aparat penegak hukum baik polisi maupun jaksa khususnya memiliki legal standing dalam menindak pelaku TPKS," kata Willy Aditya dalam diskusi bertajuk Stop Kekerasan Seksual di Sekitar Kita, di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Jumat (26/11/2021).
Menurut Willy, selama ini Polisi dan Jaksa bekerja berdasarkan hukum positif, sehingga kalau tak ada dasar hukumnya mereka tidak bisa bekerja. Karenanya RUU TPKS ini dibutuhkan.
Baca juga: RUU TPKS, Kepedulian DPR Dengar dan Respons Publik soal Isu Kekerasan Seksual
Apalagi korban itu seperti sebuah fenomena gunung es, tidak banyak yang bisa speak up, melapor karena secara sosiologis bicara seks itu masih dianggap hal yang tabu, saru dan bahkan aib.
"Korban kekerasan seksual itu ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, ditimpuk batu dan disorakin. Seolah tak ada tempat bagi korban untuk mencari keadilan. Makanya, RUU TPKS ini bersinggungan dengan kebebasan seksual, penyimpangan seksual, dan kekerasan seksual," kata Willy.
Karena itu, lanjut Willy, khusus untuk RUU ini hanya fokus pada kekerasan seksual yang terjadi di ruang publik.
Sementara seks itu merupakan ruang privat, pribadi dan hanya kebetulan obyeknya kekerasan seksual.
"Jadi, RUU ini tinggal political will saja untuk dibawa ke paripurna DPR untuk disetujui sebagai usul inisiatif DPR RI," jelas Willy.
Baca juga: Ketua Panja: RUU TPKS untuk Melindungi Korban dalam Mencari Keadilan Hukum
Draft RUU TPKS sudah disepakati DPR pada 17 November 2021.
Ada enam poin krusial yang sudah disepakati, di antaranya mengenai judul menjadi RUU TPKS yang disetujui 5 fraksi, 3 fraksi menolak, dan 1 fraksi abstain.
"Kita harapkan pada masa sidang ini sebelum 15 Desember bisa disetujui," ungkapnya.
Keunggulan lain dari RUU TPKS ini di pengadilan tidak perlu tiga alat bukti, tapi cukup satu alat bukti seperti kesaksian.
"Ini RUU yang progresif terhadap perlindungan dan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Tapi, kalau paripurna nanti gagal, ya gagal sudah selesai. Selanjutnya kalau ada kemauan baik pemerintah bisa menjadi usul inisiatif pemerintah," katanya.
Baca juga: Isu RUU TPKS Legalkan Seks Bebas dan LGBT, Ketua Panja: Jangan Berasumsi dan Memainkan Emosi Publik
Sementara itu, Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen yang juga politikus Fraksi PDIP Diah Pitaloka mengatakan sebanyak 90 persen korban TPKS itu perempuan.
Karena itu, partisipasi dan emansipasi untuk mendukung RUU TPKS ini tak boleh surut di DPR.
Menurutnya pasca terbitnya Permendikbudristek No. 30/2021 menjadikan kampus-kampus sadar hukum atas TPKS ini.
Terlebih makin banyak kasus pidana akibat kasus kawin siri di Cianjur dengan warga Arab Saudi hingga meninggal dunia, di Bogor diperkosa hingga bunuh diri karena malu dan lain-lain.
"Jadi, lahirnya RUU TPKS ini semangatnya sangat bagus, maka harus didukung," ungkapnya.