Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Yusril Sebut Wacana Penundaan Pemilu 2024 Berimplikasi kepada Legalitas dan Legitimasi Kekuasaan

Keabsahan penundaan Pemilu sangat penting agar negara tidak carut marut karena penyelenggaranya tidak memiliki legitimasi.

Penulis: Taufik Ismail
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Yusril Sebut Wacana Penundaan Pemilu 2024 Berimplikasi kepada Legalitas dan Legitimasi Kekuasaan
Grafis Tribunnews.com/Ananda Bayu S
Yusril Ihza Mahendra 

Status mereka sama dengan anggota KNIP di masa awal kemerdekaan, anggota DPRS di masa Demokrasi Liberal dan anggota MPRS di masa Orde Lama dan awal Orde Baru.

"Kedudukan Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin juga menjadi Pejabat Presiden dan Pejabat Wakil Presiden, sebagaimana Pejabat Presiden Suharto di awal Orde Baru," tuturnya.

Cara atau jalan kedua selain amandemen UUD 1945 yakni dengan mengeluarkan Dekrit menunda pelaksanaan pemilu dan sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 45 harus diisi dengan pemilu.

Yusril menjelaskan, dekrit adalah sebuah revolusi hukum, yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum.

Ia menambahkan, revolusi yang berhasil dan mendapat dukungan mayoritas rakyat, kata Professor Ivor Jennings, menciptakan hukum yang sah.

Tetapi sebaliknya revolusi yang gagal, menyebabkan tindakan revolusi hukum sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum.

Pelaku revolusi yang gagal bisa diadili oleh pengadilan dengan dakwaan makar (kudeta) atau penghianatan terhadap bangsa dan negara, atau dipecat dari jabatannya oleh lembaga yang berwenang.

Berita Rekomendasi

"Masalahnya apakah Presiden Jokowi punya nyali untuk mengeluarkan dekrit, sebagaimana Bung Karno keluarkan Dekrit membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 45?" katanya.

Yusril menjelaskan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu bukanlah tindakan yang didasarkan kepada dalil “staatsnoodrechts” (keadaan darurat negara) atau “noodstaatsrechts” (hukum tata negara dalam keadaan darurat) sebagaimana didalilkan oleh Prof Mr Djokosutono dan Prof Mr Notonegoro, karena tidak cukup alasan untuk menyatakan adanya faktor itu.

Dekrit 5 Juli 1959 adalah sebuah revolusi hukum yang berhasil berkat politik cipta kondisi yang kala itu diorganisir oleh Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal AH Nasution yang lebih dulu menyatakan SOB (Staat van Oorlog en Beleg) atau “negara dalam keadaan bahaya”, serta dukungan partai-partai politik terutama PNI dan PKI.

"Revolusi hukum tidak mungkin akan berhasil tanpa dukungan militer. Itu sejarah tahun 1959," tambahnya.

Yusril bercerita pengalamannya saat menjadi menteri pada era Gus dur.


Menurutnya Presiden Gus Dur juga pernah mencoba melakukan revolusi hukum dengan mengeluarkan dekrit membubarkan DPR dan MPR hasil Pemilu 1999.

Sebelum niat itu dilaksanakan, ia sudah memberikan tausiyah kepada Presiden Gus Dur resmi dalam sidang kabinet tanggal 6 Februari 2001.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas