Yusril Sebut Wacana Penundaan Pemilu 2024 Berimplikasi kepada Legalitas dan Legitimasi Kekuasaan
Keabsahan penundaan Pemilu sangat penting agar negara tidak carut marut karena penyelenggaranya tidak memiliki legitimasi.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Dewi Agustina
"Langkah seperti itu akan jadi boomerang bagi Presiden Jokowi sendiri," katanya.
Presiden Joko Widodo sendiri kata Yusril, sempat mengatakan kepadanya tidak berkeinginan memegang jabatan tiga periode.
Alasannya langkah itu tidak punya landasan konstitusional dan bertentangan dengan cita-reformasi.
"Apakah apa yang dikatakan Presiden Joko Widodo itu adalah sesuatu yang keluar dari hati nuraninya ataukah hanya sekadar ucapan basa-basi saja, saya tidak tahu. Sebagai manusia, saya hanya memahami yang zahir, dalam makna, itulah kata-kata yang beliau ucapkan dan saya pahami. Sesuatu yang batin di balik yang zahir itu, semuanya berada di luar jangkauan saya untuk memastikannya," kata Yusril.
Selain amandemen dan juga dekrit, jalan ketiga untuk menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan para penyelenggara negara adalah dengan menciptakan konvensi ketatanegaraan atau “constitutional convention”.
Perubahan bukan dilakukan terhadap teks konstitusi, UUD 45, melainkan dilakukan dalam praktik penyelenggaraan negara.
Dalam Pasal 22E UUD 45 tegas diatur bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD.
Pasal 7 UUD 45 mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah lima tahun.
Sesudah itu dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan lagi.
"Kedua pasal ini tidak diubah, tetapi dalam praktik Pemilu nya dilaksanakan misalnya tujuh tahun sekali. Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD dan dengan sendirinya MPR, dalam praktiknya juga dilaksanakan selama tujuh tahun," katanya.
Praktik penyelenggaraan negara yang beda dengan apa yang diatur dalam konstitusi itu dalam sejarah ketatanegaraan kita, hanya dilakukan dengan pengumuman Pemerintah, yakni Maklumat Wakil Presiden No X tanggal 16 Oktober 1945.
Arsitek perubahan itu adalah Sutan Sjahrir. Pertimbangannya adalah, menurut Sjahrir, Sukarno-Hatta adalah “kolaborator Jepang” yang sulit untuk diterima kehadirannya oleh Sekutu, dan juga Belanda.
Dengan Maklumat Nomor X itu sistem presidensial berubah menjadi parlementer.
Soekarno Hatta hanya berkedudukan sebagai Kepala Negara dan Wakilnya, sementara kekuasaan pemerintahan ada ditangan Perdana Menteri yang dijabat Sjahrir.
KNIP yang semula hanya lembaga yang membantu Presiden, berubah menjadi parlemen tempat Perdana Menteri bertanggung jawab.
Perubahan dalam praktik itu, menurut Prof Dr Ismail Suny terjadi karena konvensi ketatanegaraan yang dalam praktik diterima, tanpa ada yang menentang.
Akibat situasi perang kemerdekaan, Pemilu pertama yang direncanakan akan dilaksanakan tanggal 1 Februari 1946 untuk membentuk DPR dan MPR, menetapkan UUD tetap dan memilih Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat dilaksanakan.
UUD 45 yang menurut ketentuan dua ayat dalam Aturan Tambahan hanya akan berlaku selama dua kali enam bulan, akhirnya berlaku terus sampai digantikan dengan Konstitusi RIS pada tanggal 27 Desember 1949.
Semua itu terjadi melalui konvensi ketatanegaraan.
Teks UUD 45 nya sepatah kata pun tidak diubah, tetapi praktik penyelenggaraan negaranya sudah berbeda jauh dengan apa yang secara normatif diatur di dalam UUD tersebut. Namun praktik itu diterima tanpa banyak masalah.
"Seperti telah saya katakan, tidak ada pihak yang membawa masalah itu ke pengadilan untuk menilai apakah tindakan yang menyimpang dari UUD 45 itu sah atau tidak," katanya.
Sementara itu, kata Yusril sekarang zaman sudah berubah.
Rakyat sudah lebih paham bagaimana penyelenggaraan negara dibanding zaman revolusi tahun 1945-1949.
Ahli-ahli tambah banyak. Ada media sosial yang membuka peluang bagi siapa saja untuk mengkritik, ada Mahkamah Konstitusi yang bisa menguji undang-undang dan mengadili sengketa kewenangan antar lembaga negara.
Konvensi ketatanegaraan tentang penundaan Pemilu sulit diciptakan, apalagi orang awam dengan mudah akan menganggap ada “penyelewengan” terhadap UUD 45.
"Presiden Jokowi tentu tidak dalam posisi untuk dapat menciptakan konvensi ketatanegaraan sebagaimana digagas Sjahrir dan dilaksanakan Wapres Mohammad Hatta tahun 1945 itu," ujarnya.