Yusril Sebut Wacana Penundaan Pemilu 2024 Berimplikasi kepada Legalitas dan Legitimasi Kekuasaan
Keabsahan penundaan Pemilu sangat penting agar negara tidak carut marut karena penyelenggaranya tidak memiliki legitimasi.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Dewi Agustina
Ia mengingatkan Presiden dalam posisinya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM yang berkewajiban memberikan nasehat hukum kepada Presiden.
Dalam kesempatan itu, Yusril mengatakan bahwa rencana Presiden mengeluarkan maklumat atau dekrit membubarkan DPR dan MPR itu adalah tindakan inkonstitusional yang sangat berisiko.
Apabila tindakan itu mau disamakan dengan tindakan Bung Karno tanggal 5 Juli 1959, maka landasan sosiologis, politis dan konstitusional untuk itu tidak ada.
Lagi pula, dekrit hanya akan berhasil jika didukung oleh kekuatan militer.
Sementara Yusril mengaku melihat TNI kala itu enggan mendukung langkah inkonstitusional tersebut.
"Mengingat pada waktu itu DPR sudah mengeluarkan memorandum I kepada Presiden, saya menyarankan agar Presiden mengundurkan diri saja. Hal itu baik bagi Presiden pribadi, dan baik juga bagi bangsa dan negara daripada Presiden dipermalukan dengan diberhentikan oleh MPR," kata Yusril.
Hanya saja tausiyah tersebut kata Yusril disambut Presiden dengan kemarahan.
Esok harinya atau tepatnya tanggal 7 Februari 2001, ia diberhentikan sebagai Menteri Kehakiman dan HAM dan digantikan oleh Baharudin Lopa.
Menurutnya Lopa bersedia mewakili Presiden menjawab memorandum I dan II di MPR. Tugas tersebut sebelumnya ia tolak.
Dekrit akhirnya diteken oleh Presiden Gus Dur tanggal 23 Juli 2001 yang mendapat dukungan begitu banyak dari kalangan aktivis, akademisi dan tokoh-tokoh LSM yang berbondong-bondong datang ke Istana.
"Namun karena sebagai sebuah tindakan revolusi hukum yang tidak matang, MPR segera bersidang dan menjawab dekrit Presiden sebagai pelanggaran terhadap konstitusi dan haluan negara. Maka, Presiden Gus Dur diberhentikan dari jabatannya," katanya.
Baca juga: Wacana Menunda Pemilu, AHY: Suara Rakyat yang Mana? Jangan Permainkan Suara Rakyat
"Pertanyaannya sekarang, apakah Presiden Jokowi akan memilih mengeluarkan Dekrit menunda Pemilu dan memperpanjang masa jabatan semua penyelenggara negara termasuk dirinya, yang menurut UUD 45 harus diisi melalui Pemilu?" kata Yusril.
Ia menduga, Presiden Joko Widodo tidak akan melakukannya. Karena kata Yusril risiko politik mengeluarkan dekrit terlalu besar.
Sebagai tindakan revolusioner, tindakan itu jauh daripada matang. TNI dan POLRI juga belum tentu akan mendukung, meskipun keputusan itu adalah Keputusan Presiden sebagai Panglima Tertinggi.