Pansus BLBI DPD RI Ragukan Kinerja Satgas BLBI, Ini Alasannya
Kinerja Satuan Tugas Penagihan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) kembali diragukan.
Editor: Hasanudin Aco
Mereka musti berkomunikasi intensif dengan lembaga-lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk membantu kinerja Satgas BLBI.
“KPK, Kejaksaan, Reskrim Polri, bahkan Pansus BLBI DPD siap membantu Satgas BLBI,” tuturnya.
Hardjuno mengatakan kerjasama antarlembaga dalam memburu asset para obligor pengemplang BLBI sangat penting.
Sebab, fasilitas BLBI memiliki sifat kejahatan yang sangat jahat dan menjadi mega skandal nomor 1 negeri ini.
“Hanya saat inilah momentum untuk menyelesaikannya dan memotongnya dari masa depan negara ini,” tuturnya.
Kegagagalan Satgas BLBI akan membuat warisan masalah masa lalu ini terus menejerat jalannya bernegara.
“Kenapa? Karena uang hasil kejahatan BLBI yang sangat besar itu diduga membuat para pengemplang itu bisa leluasa menggunakannya untuk mainan politik, bandarin calon elit negara, sehingga negara ini seperti disandera oleh masa lalu terus,” jelas Hardjuno.
Satgas BLBI semestinya juga memberi perhatian pada masalah Obligasi Rekap BLBI yang saat ini terus membebani APBN dengan pembayaran bunga rekap setahun mencapai hingga Rp 50-70 triliun.
Bunga obligasi rekap ini selalu akan menjadi perkiraan karena selama ini pemerintah tidak terbuka berapa sebenarnya yang dibayarkan negara kepada bank-bank penerima obligasi rekap tersebut.
“Sekarang yang jelas bank-bank ini sudah untung, bahkan ada yang sudah jadi bank nomor 1 di Indonesia bahkan Asia. Dulu waktu rekap diberikan bertujuan bank tidak kolaps, sekarang kan sudah jaya, ya mustinya ada moratorium obligasi rekap,” papar Hardjuno.
Untuk diketahui, mega skandal BLBI ini terdiri dari bantuan langsung yang kemudian dibayar dengan aset para pemilik bank tersebut kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tapi kemudian aset tersebut banyak yang bodong alias nilainya tak mencukupi untuk membayar hutang mereka.
Masalah kedua adalah penerbitan obligasi rekap (OR) oleh negara untuk mengakali perhitungan akuntansi agar modal bank di atas kertas cukup sesuai ketentuan.
“Karena saat itu negara habis cash, jadi dikasih OR saja, kertas. Seolah-olah pemerintah berhutang. Tapi kok terus-terusan sampai sekarang tidak diperjelas. Bahkan OR ini ada yang sudah dijual juga, ini sampai kapan rakyat menanggung? Padahal bank sudah jalan lagi tak perlu bantuan pemerintah lagi,” terang Hardjuno.
Selain itu Hardjuno juga mengkritisi Kemenkeu yang mengumumkan nilai aset sitaan para obligor BLBI sebesar Rp19,16 triliun.
Padahal negara punya pengalaman BPPN diduga menyita aset yang nilainya ternyata tidak sesuai dengan yang dideclare.