Jeda Waktu Pilpres hingga Pelantikan Buat Presiden Menjabat Tak Bisa Mengeluarkan Kebijakan Efektif
Jeda waktu Pemilihan Presiden 14 Februari 2024 hingga pelantikan 20 Oktober 2024, membuat Presiden menjabat tak bisa keluarkan kebijakan efektif
Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Arif Fajar Nasucha
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra menyebut, jeda waktu Pemilihan Presiden 14 Februari 2024, hingga pelantikan Presiden terpilih 20 Oktober 2024, akan menciptakan keunikan dalam sistem pemerintahan.
Pasalnya, ia menilai akan ada keanehan karena Indonesia seakan memiliki 'dua' Presiden, yakni Presiden yang masih menjabat, dan Presiden terpilih, hasil Pilpres.
Dalam situasi itu, kata Azyumardi, Presiden yang sedang menjabat tidak ubahnya seperti Lame Duck atau 'bebek lumpuh'.
"Yang dimaksud di sini sebagai 'Bebek Lumpuh', adalah Presiden yang sedang menjabat tak bisa lagi mengeluarkan kebijakan yang efektif dan strategis, karena sudah ada Presiden dan Wakil Presiden baru, meskipun belum dilantik," kapa Azyumardi kepada wartawan, Jumat (24/6/2022).
Lebih lanjut, Azyumardi mengatakan, pasca pemilu akan terjadi gugatan hukum ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kemudian, MK mengesahkan terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden hasil Pilpres 2024, maka legitimasi Presiden terpilih menjadi lebih kuat lagi.
Baca juga: Fahri Hamzah: Pencalonan Pemilihan Presiden 2024 Berdasarkan Suara Pileg 2019 Tidak Logis
Sebaliknya, untuk Presiden yang sedang menjabat, akan semakin menjadi 'bebek lumpuh'.
Situasi semacam itu, kata Azyumardi, akan mengakibatkan kevakuman pemerintahan selama delapan bulan. Atau bisa juga terjadi disorientasi pemerintahan.
Menurutnya, hal ini bisa menjadi pelajaran penting bagi para anggota parlemen hasil Pileg 2024.
"Semoga para anggota Parlemen hasil Pileg 2024 nantinya akan memperbaiki hal ini, agar praktik demokrasi kita semakin membaik," jelasnya.
Baca juga: Bukan Prabowo dan Muhaimin, KIB Tegaskan Tidak akan Usung Sosok di Luar Koalisi Maju Pilpres 2024
Sementara, Direktur Eksekutif SMRC Sirojuddin Abbas membenarkan bahwa segera setelah Pilpres, baik putaran satu atau dua, pengaruh atau posisi tawar Presiden yang sedang menjabat kemungkinan besar akan menurun.
"Pada saat itulah sekutu politik akan pergi ke pemenang atau Presiden Terpilih. DPR juga mulai tidak responsif terhadap keinginan presiden petahana," terangnya.
Pengaruh lainnya, lanjut Sirojudin, adalah penurunan pengaruh Presiden yang menjabat di organisasi pemerintahan, terutama di kementerian yang dipimpin dari kalangan berlatar-belakang parpol.