Sosok Taruna Ikrar, Dokter Diaspora Indonesia yang Menginspirasi: Sempat Ditawari Jadi Warga Amerika
Ada banyak inspirator yang dapat menjadi tauladan generasi muda dalam mengisi kemerdekaan Indonesia, satu di antaranya adalah, dokter Taruna Ikrar.
Editor: Malvyandie Haryadi
Demikian pula secara farmakologi yang bisa dilihat dari banyak sudut pandang, baik perjalanan dan nasib obat dalam tubuh, efeknya terhadap tubuh, dan seterusnya.
Dalam berkarier di Amerika Serikat, ada beberapa temuan hasil penelitian Taruna dan timnya sangat terkenal yaitu alat yang mampu secara presisi memetakan otak hingga detail yang sangat tinggi alias nano.
Itu merupakan kerja yang rumit karena sebagai catatan, terdapat tak kurang dari 100 miliar sel saraf dan diperkirakan koneksinya mencapai triliunan.
"Fungsi alat itu untuk mengatur menghidupkan atau mematikan (turn on/turn off) sel-sel saraf dan nanti irama otak itu bisa diatur. Ini berguna, misalnya, pada pasien parkinson yang sel sarafnya tidak teratur," terangnya soal bagaimana penelitiannya bisa berkontribusi pada dunia medis yang selama ini masih dihadapkan pada penyakit-penyakit saraf yang dianggap belum ada obatnya.
Dewasa ini, penyakit jantung dan penyakit-penyakit saraf masih menjadi penyebab kematian tertinggi, di antaranya cardiomyopathy, coronary artery disease, stroke, alzheimer, parkinson, skizofrenia, dan epilepsi.
"Saya ingin berkontribusi demi kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan," harapnya.
Sempat ditawari jadi warga negara AS
Sederet penghargaan dan keahlian yang dimiliki Taruna Ikrar mengundang tawaran dari pihak imigrasi Amerika Serikat agar dia berpindah kewarganegaraan.
Hal itu memang lazim di sana, banyak ahli, ilmuwan, pakar, dan orang-orang yang dianggap potensial bagi AS dipermudah untuk memiliki izin tinggal, menjadi penduduk tetap (Green Card), bahkan kemudahan untuk berpindah kewarganegaraan.
Andai dia memutuskan mengganti kewarganegaraan, tak lagi jadi warga negara Indonesia, sudah menanti daftar panjang keuntungan baginya.
Dia bisa bebas bepergian ke 178 negara tanpa visa sebagaimana warga negara Amerika lainnya.
Dia berhak mencalonkan diri menjadi senator di negara itu dan turut berpartisipasi dalam pemilihan presiden, mendapat perlakuan prioritas dari American Investigation Service kalau ditimpa masalah di luar negeri, bisa mendapat penghargaan-penghargaan khusus apabila berprestasi sebagai warga negara, dan seterusnya.
"Namun saya masih cinta Indonesia, bukan tidak mencintai Amerika," akunya.
"Saya memikirkan bukan untung rugi. Namun jika pindah warga negara nantinya terbatas kontribusi untuk negara yang melahirkan saya," lanjutnya.