Pakar Hukum Pidana Tanggapi Tuntutan Jaksa Rp 10 Triliun di Kasus Minyak Goreng
Tuntutan dari jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait kasus dugaan korupsi izin persetujuan ekspor (PE) minyak sawit atau CPO
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tuntutan dari jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait kasus dugaan korupsi izin persetujuan ekspor (PE) minyak sawit atau crude palm oil (CPO) kepada para terdakwa, dinilai tidak berdasar, terutama penghitungan yang merugikan negara.
Sejumlah pakar hukum mempertanyakan tuntutan yang beragam dari 7 hingga 12 tahun dengan uang pengganti hingga puluhan triliun rupiah.
Pakar hukum pidana, Chairul Huda, menyebut tuntutan tersebut hal yang aneh.
Menurutnya, uang pengganti itu hanya diterapkan bagi orang yang memperoleh pertambahan kekayaan dari tindak pidana korupsi.
“Jadi bagaimana mungkin mereka dituntut Rp 10 triliun sementara tidak ada pertambahan kekayaan mereka sebesar itu," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (28/12/2022).
Ia terang menyebut jaksa melakukan tuntutan tidak berlandaskan hukum.
Menurutnya, majelis hakim selayaknya menolak tuntutan tersebut, dan mempertimbangkan semua fakta di persidangan.
Dalam kasus ini, di persidangan lalu, terdakwa Stanley MA dituntut membayar uang pengganti Rp868.720.484.367,26 jika tidak dibayar maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 tahun.
Dan, Pierre Togar Sitanggang dituntut membayar uang pengganti Rp4.554.711.650.438 jika tidak dibayar maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 tahun dan 6 bulan.
Sedang, Master Parulian dituntut membayar uang pengganti Rp10.980.601.063.037 jika tidak dibayar maka diganti dengan hukuman penjara selama 6 tahun.
Di persidangan, JPU meminta hakim menegaskan, jika uang pengganti tersebut tidak dibayarkan maka harta benda milik terdakwa dan korporasi akan disita.
Baca juga: Bantah Tuntutan Jaksa, Para Terdakwa Jelaskan Penyebab Kelangkaan Minyak Goreng
Terhadap tuntutan itu, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, juga menegaskan tuntutan uang pengganti itu berbeda dengan ganti rugi.
“Uang pengganti itu didasarkan pada perhitungan fakta yang riil, pemunculan sebuah jumlah harus didukung dengan bukti dan perhitungan yang riil, jadi tidak asal memunculkan nominal saja tanpa rasionalusasi yang jelas,” ujarnya.