Pakar Hukum Pidana Tanggapi Tuntutan Jaksa Rp 10 Triliun di Kasus Minyak Goreng
Tuntutan dari jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait kasus dugaan korupsi izin persetujuan ekspor (PE) minyak sawit atau CPO
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Wahyu Aji
Sedangkan ganti rugi itu bisa bersifat subjektif, kata dia.
Artinya selain kerugian riil juga bisa ditambah dengan potensi, atau "keuntungan yang diharapkan" atau bunga atau kelebihan jumlah jika uang itu dikelola.
“Sehingga jumlahnya bisa sangat subjektif, yakni pokok kerugian plus bunga, nah jika jumlah tuntutan Rp10 triliun itu ada perhitungannya, maka itu cukup beralasan, tetapi jika asal sebut jumlah saja tanpa rasionalisasinya, maka itu bs dikatakan ngawur,” kata Fickar di kesempatan berbeda.
Sementara, Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia (UI), Prof. Haula Rosdiana, juga mempertanyakan dasar tuntutan dan mengkritisi lebih jauh.
Haula menyebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 pun disebutkan, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi sulit untuk dibuktikan secara akurat.
Di sisi lain, hingga saat ini belum ada aturan yang mengatur metode penghitungan kerugian perekonomian negara.
"Ini bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang seharusnya memenuhi prinsip hukum harus tertulis, harus ditafsirkan seperti yang dibaca, tidak multitafsir. Kalau ini belum diatur bahaya, setiap orang nanti pakai metode berbeda sesuai dengan seleranya, tidak ada kepastian dan standarisasi," ungkapnya.
Haula yang juga sempat memberi keterangan di persidangan sebagai saksi ahli kasus minyak goreng menyampaikan bahwa metode menggunakan input-output (I-O) tak tepat.
Sebab, metode itu biasanya digunakan untuk perencanaan pembangunan.
"Itu berarti bukan sesuatu yang real. Kita berbicara mengenai tuntutan hukum, berarti harus fakta hukum dong, kalau fakta hukum itu bukan prediksi atau asumsi. Saya sudah sampaikan juga, kok pakai tabel I-O tahun 2016, sekarang aja 2022," ujarnya.
Disampaikan juga padahal pengusaha mengalami kerugian, seperti dipaksa menjual minyak goreng sesuai harga eceran tertinggi (HET) di saat harga CPO melambung.
"Ada yang tidak dijelaskan dalam detil oleh ahli yang digunakan JPU, yaitu pengorbanan produsen berkaitan dengan HET itu, bagaimana dia tetap menjual meskipun sebetulnya itu sudah dibawah harga keekonomisan," jelas Haula.
Hal janggal lainnya adalah terkait tak dipertimbangkannya pemenuhan minyak goreng di pasaran (DMO) dan benefit ekspor yang menjadi pemasukan negara.
"Bagaimana mungkin totalnya sekian, ini kita bicara hukum ya. Saya netral aja, saya prihatin kalau sesuatu tidak jelas itu dipaksakan, pakai metode apa lagi nanti, mau bagaimana sementara UU belum pernah ngatur," terang dia.
Baca juga: Terdakwa Kasus Minyak Goreng Keberatan Dibebankan Anggaran BLT Tahun 2022 Sebesar Rp6 Triliun