Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Akademisi dan Praktisi Dorong Penghapusan Penuh Pidana Mati

Melalui masa percobaan, terpidana mati yang berkelakuan baik dapat dijadikan pidana penjara seumur hidup melalui Keputusan Presiden.

Penulis: Erik S
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Akademisi dan Praktisi Dorong Penghapusan Penuh Pidana Mati
enavakal.com
Ilustrasi hukuman mati. 

“Original intent dari rumusan Pasal 100 ayat (1) KUHP baru adalah seluruh pidana mati wajib disertai dengan masa percobaan. Hal ini juga konsisten dengan penjelasan Pasal 98 KUHP baru,” ucap Taufik.

Penjelasan Pasal 98 UU 1/2023 menekankan bahwa salah satu sifat khusus dari pidana mati adalah ia dijatuhkan dengan masa percobaan sebagai upaya untuk memperbaiki diri agar eksekusi tidak perlu dilaksanakan dan diganti menjadi pidana penjara seumur hidup.

Taufik Basari juga menerangkan bahwa selain mewajibkan masa percobaan Pasal 100 ayat (1) UU 1/2023 juga mengatur syarat bagi hakim dalam penjatuhan pidana mati, yaitu “Penyesalan dan peran terdakwa merupakan syarat bagi hakim untuk menjatuhkan pidana mati. Jika pidana mati dijatuhkan, maka harus dicantumkan juga masa percobaannya.”

Kedua perbedaan tafsir ini menunjukkan sumirnya pengaturan pidana mati dengan masa percobaan dalam Pasal 100 UU 1/2023.

Hal ini juga disetujui oleh Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta, Muh. Djauhar Setyadi yang mengkhawatirkan potensi permasalahan dalam rumusan UU 1/2023.

“Pasal 100 ayat (1) KUHP baru menimbulkan kebingungan, khususnya frasa ‘dengan memperhatikan’. Hal ini justru akan menimbulkan keraguan bagi hakim jika hendak menerapkannya,.” ucap Djauhar.

Djauhar juga menilai bahwa penilaian sikap dan kelakuan terpidana mati yang diatur pada Pasal 100 ayat (4) UU 1/2023 perlu melibatkan peran dari lembaga yudikatif, khususnya hakim pengawas dan pengamat.

Berita Rekomendasi

“Perlu ada checks and balances di dalam format baru ini. Misalnya saja dengan melibatkan Hakim wasmat (pengawas dan pengamat) dalam penyusunan pertimbangan Mahkamah Agung. Namun perlu ada pengaturan lebih lanjut mengenai Hakim wasmat tersebut, bukan sebagaimana pengaturan saat ini,” ujar Djauhar.

Pandangan lain dikemukakan oleh Adnan Pambudi dari Ikatan Advokat Indonesia Cabang Yogyakarta yang menganggap permasalahan ini lahir karena Indonesia belum menghapus pidana mati secara total.

“Problema ini lahir karena ketidaktegasan politik hukum pidana mati di Indonesia. Karena masih setengah-setengah malah menjadi masalah dalam sistem hukum kita,” kata Adnan.

Penghapusan pidana mati secara total juga disuarakan oleh Eko Riyadi dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia. Menurut dia, masyarakat internasional sudah beranjak dari paradigma yang masih memperbolehkan pidana mati.

Eko merujuk pada Pasal 6 ayat (2) dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (Kovenan Hak Sipol)—yang telah diratifikasi oleh Indonesia di tahun 2005—yang memperbolehkan negara untuk menerapkan pidana mati pada kejahatan paling serius (most serious crime) berdasarkan putusan pengadilan.

Menurut Eko, ketentuan Kovenan Hak Sipol adalah traktat internasional yang dibentuk dengan iklim politik tahun 1966.

Kata dia, seandainya (Kovenan Hak Sipol) disusun sekarang, sudah pasti ICCPR (Terj. Kovenan Hak Sipol) tidak akan memperbolehkan pidana mati dengan alasan apa pun.

Eko mendorong Indonesia untuk segera meratifikasi Protokol Pilihan Kedua dari Kovenan Hak Sipol mengenai penghapusan total pidana mati.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas