Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Halomoan Sianturi: Negara Hukum Masih Jadi Mimpi

Halomoan Sianturi bermimpi hukum akan benar-benar menjadi panglima di Indonesia yang merupakan negara hukum di samping negara demokrasi.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Halomoan Sianturi: Negara Hukum Masih Jadi Mimpi
Ist
Halomoan Sianturi SH MH 

Menurut Halomoan, dalam Undang-Undang (UU) No 18 Tahun 2003 tentang Advokat, aparat penegak hukum meliputi empat instansi yang kemudian disebut sebagai catur wangsa, yakni kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat atau pengacara.

Sayangnya, kata Halomoan, tak sedikit aparat penegak hukum yang justru terlibat pelanggaran hukum. "Ibarat pagar makan tanaman," tukasnya.

Polri, kata Halomoan, masih menghadapi problem internal berupa pelanggaran hukum yang melibatkan oknum-oknum anggotanya. Ia lalu merujuk contoh kasus pelanggaran hukum yang melibatkan sejumlah petinggi Polri seperti mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Irjen Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, dan mantan Kapolda Sumatera Barat Irjen Teddy Minahasa dalam kasus penyalahgunaan narkoba.

"Di sisi lain, dalam menegakkan hukum, sering kali Polri baru bergerak ketika kasusnya sudah terlanjur viral. Ibaratnya, no viral no justice," sesal anggota Tim Advokat untuk Penegakan Hukum dan Keadilan (TAMPAK) ini.

Kejaksaan, kata Halomoan, juga menghadapi problem internal berupa masih bercokolnya oknum-oknum jaksa nakal.

Ia lalu merujuk kasus gratifikasi yang melibatkan oknum jaksa Pinangki Sirna Malasari.

Hakim-hakim yang masuk ranah yudikatif pun, lanjut Halomoan, setali tiga uang. Ia lalu merujuk contoh kasus suap yang melibatkan dua hakim agung Mahkamah Agung (MA) yakni Sudradjad Dimyati dan Gazalba Saleh, bahkan Sekretaris MA Hasbi Hasan.

Berita Rekomendasi

Begitu pun advokat, kata Halomoan, masih menghadapi problem internal berupa adanya oknum-oknum advokat nakal. Ia lalu merujuk contoh kasus suap pengurusan perkara di MA yang juga melibatkan dua oknum advokat.

Lalu, bagaimana dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai penegak hukum khususnya dalam pemberantasan korupsi? Di mata Halomoan, KPK pun belum sesuai dengan yang diharapkan, yakni bekerja semata-mata untuk menegakkan hukum dan keadilan.

"Faktor diskriminasi masih ada, bahkah like and dislike dan dugaan pelanggaran hukum oleh KPK," terangnya.

Ia lalu merujuk contoh langkah KPK melakukan kriminalisasi terhadap sejumlah advokat yang sedang menjalankan tugasnya baik di pengadilan maupun di luar pengadilan.

Berdasarkan data, advokat-advokat yang pernah dipidanakan KPK adalah Lukas SH, Friedrick Yunadi SH, dan terbaru adalah pengacara Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe, Stefanus Roy Rening yang ditetapkan KPK sebagai tersangka perintangan penyidikan atau "obstruction of justice".

"Jadi, kalau benar-benar pemerintah dan aparat penegak hukum mau menegakkan supremasi hukum atau menjadikan hukum sebagai panglima di republik tercinta ini, maka semua pihak harus berbenah," urainya.

Jika hukum dan keadilan sudah tegak, dan supremasi hukum sudah terwujud, termasuk pemberantasan korupsi sudah "on the right track", kata Halomoan, maka kegusaran dan kegeraman berbagai pihak, termasuk pemerintah sendiri seperti tercermin dalam pernyataan-pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud Md bahwa korupsi di Indonesia bertambah parah, niscaya tak akan terjadi lagi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas