Pengamat: Tangani Polusi Udara Perlu Kebijakan Khusus di Sektor Transportasi
Sektor transportasi menjadi kontributor terbesar dalam permasalahan polusi udara di DKI Jakarta.
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sektor transportasi menjadi kontributor terbesar dalam permasalahan polusi udara di DKI Jakarta.
Pemerintah pun diminta membuat kebijakan khusus untuk mengatasi polusi udara yang bersumber dari kendaraan bermotor.
“Untuk sektor transportasi, penting bagi pemangku kebijakan untuk mempercepat peralihan mayoritas konsumsi BBM masyarakat agar sesuai standar emisi yang berlaku,” kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro kepada wartawan, Selasa (12/9/2023).
Sebagai informasi, baru-baru ini pemerintah melontarkan wacana menghapus Pertalite RON 90 pada 2024, dan mengalihkan subsidi ke produk Pertamax Green 92 yang merupakan campuran Pertalite dengan etanol 7 persen.
Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya menurunkan emisi karbon dioksida yang dibuang oleh kendaraan bermotor.
Menurut Komaidi, polusi udara akibat kendaraan pribadi di Jakarta semakin menjadi-jadi karena penggunaan bahan bakar minyak yang kurang sesuai dengan standar.
Kemacetan pun memperparah emisi gas buang, ditambah sesaknya ibu kota oleh motor dan mobil pribadi.
Pada saat KTT ASEAN, penggunaan kendaraan pribadi dibatasi dengan program work from home (WFH) 75 persen bagi aparatur sipil negara (ASN) serta penerapan rekayasa lalu lintas. Namun setelahnya, kemacetan kembali terjadi seperti sebelumnya.
Lebih lanjut Komaidi menegaskan bahwa PLTU Suralaya sudah mengurangi 4 unit operasional sejak 29 Agustus 2023, tapi polusi udara di Ibu Kota tetap tak membaik.
Baca juga: Kendaraan Pribadi Biang Polusi Udara DKI, Pemerintah Perlu Susun Solusi Jangka Pendek dan Panjang
Menurutnya, semua elemen perlu membenahi tiap sumber penyebab polusi udara. Sektor transportasi dan industri perlu terus dibenahi secara bertahap.
Ia juga menerangkan pentingnya tetap berpegang pada sumber daya energi yang dimiliki Indonesia, daripada mengimpornya dari luar negeri.
“Jangan lantas meninggalkan sumber daya energi domestik demi mengimpor energi dari luar negeri,” ungkap dia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.