Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Praktisi Nilai Eksepsi Karen Agustiwan Bisa Diterima, Begini Alasannya

Penggagas Amicus Curiae Karen Agustiwan, Dany Saliwijaya menai, seharusnya perkara yang dikenakan terhadap Karen Agustiwan itu murni soal perseroan.

Penulis: Erik S
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in Praktisi Nilai Eksepsi Karen Agustiwan Bisa Diterima, Begini Alasannya
Ist
Pakar Hukum Pidana Chudry Sitompul menilai, perkara yang menjerat Galaila Karen Kardinah atau Karen Agustiwan dalam kasus dugaan korupsi terkait pembelian liquefied natural gas (LNG) atau gas alam cair merupakan bukan perkara pidana. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Chudry Sitompul menilai, perkara yang menjerat Galaila Karen Kardinah atau Karen Agustiwan dalam kasus dugaan korupsi terkait pembelian liquefied natural gas (LNG) atau gas alam cair merupakan bukan perkara pidana.

Mulanya Chudry menjelaskan mengenai eksepsi terbagi dua golongan.

Pertama, menurutnya eksepsi yang bertujuan untuk menghentikan penuntutan sementara, agar surat dakwaan diulang kembali. Eksepsi yang kedua, agar perkara ini tidak bisa diajukan lagi ke pengadilan.

Biasanya, lanjut Chudry eksepsi yang pertama itu diajukan karena masalah formalitas.

Misal, status terdakwa tidak sah secara prosedural atau surat dakwaan itu formalitasnya tidak mengikuti KUHAP, sehingga eksepsi ini bisa diterima.

Namun, bukan berarti perkara ini gugur, dan itu berpotensi bisa diulang kembali.

"Nah yang kedua ini, perkara ini bukan perkara pidana. Perkara ini bisa perkara masalah administrasi, atau perdata. Ini juga bisa terjadi eror in persona, bisa jadi bukan dia (Karen) pelaku kejahatan yang dibawa ke muka persidangan," kata Chudry dalam diskusi "Membedah Eksepsi Karen Agustiwan: Korupsi LNG Pertamina-Corpus Christi" di Jalan Panglima Polim, Jakarta Selatan, yang diinisiasi Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), Jumat (23/2/2024).

Berita Rekomendasi

Atau bisa juga, kata Chudry ini merupakan kejahatan bersama, yang justru menjadi korban orang lain. Sehingga, dakwaan terhadap Karen itu cacat prosedural.

"Ini prematur. Ini bukan tidak pidana tapi ini perdata, dan cacat administrasi negara, dakwaan juga tidak cermat," ujar dia.

Dia pun juga melihat surat BPK yang ada di dakwaan KPK bisa didugat di PTUN. Di tambah lagi, KPK sampai saat ini belum menyerahkan copy surat BPK ke LMPP.

Sementara, Penggagas Amicus Curiae Karen Agustiwan, Dany Saliwijaya menai, seharusnya perkara yang dikenakan terhadap Karen Agustiwan itu murni soal perseroan.

"Dan ini PT dan rujukan UU PT tahun 2007, bukan pidana, karena ini murni bisnis. Terlebih lagi, ini bukan kakayaan negara secara lansung tapi dipisahkan," kata dia.

Terlebih lagi, Pertamina itu secara keuangan dikelola sendiri, bukan langsung dikelola oleh negara. Secara profesional itu dikelola oleh direksi. "Ini murni PT," katanya.

Sementara, Praktisi hukum Syaefullah Hamid menilai, eksepsi Karen bisa diterima oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Terlebih, berkas perkara Karen cacat prosedural sehingga secara hukum tidak sah. Kemudian, ia menyoroti berkas perkara Karen juga ditandatangani mantan Ketua KPK Firli Bahuri.

Mengingat, Firli Bahuri bukan lagi Pimpinan KPK. Sehingga, seharusnya berkas perkara yang menjerat Karen ditandatangani oleh penyidik KPK.

"Karena serangkaian penyidikan itu adalah dilakukan penyidik. Kalau pimpinan bukan penyidik. Sehingga itu cacat hukum. Sehingga berkas perkaranya tidak dapat diterima," ujar Syaefullah.

Ditambah lagi, kasus yang didakwakan ke Karen Agustiawan bukan perkara hukum pidana. Ia menegaskan, perkara itu seharusnya masuk ranah perdata.

"Tindakan bisnis, tindakan korporasi semestinya kalaupun mau di evaluasi secara ranah korporasi. Bukan ranah pidana," kata Syaefullah Hamid.

Syaefullah menegaskan, perkara yang didakwakan merupakan ranah bisnis. Ia menuturkan, dalam hukum bisnis hal biasa jika ada keuntungan maupun kerugian.

"Itu keruginan bisnis, dalam bisnis kerugian itu biasa. Sehingga tidak otomatis menjadi kerugian negara. Kita tahu kontraknya masih berlangsung belum berakhir. Sehingga terlalu prematur ada kerugian atau tidak, yang harus dilihat diakhir untung atau rugi," tegas Syaefullah.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas