Menteri Bahlil Laporkan Dugaan Pencatutan Nama soal Minta Upeti Izin Tambang ke Bareskrim
Dalam hal ini, Bahlil bukan melaporkan Majalah Tempo melainkan siapapun yang terlibat dalam proses pencatutan nama tersebut baik dari internal maupun
Penulis: Abdi Ryanda Shakti
Editor: Acos Abdul Qodir
Dalam keterangan resminya, Mulyanto menyebut Bahlil diduga menyalahgunakan wewenangnya sebagai Kepala Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.
Ia diduga mencabut dan menerbitkan kembali izin usaha pertambangan (IUP) dan hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit dengan imbalan miliaran rupiah maupun penyertaan saham di tiap-tiap perusahaan.
Baca juga: Kala KPK di Titik Nadir: Mantan Ketua hingga Pegawai Rutan Jadi Tersangka Kasus Korupsi
Polemik pemberitaan tersebut, Tempo juga sudah dilaporkan oleh Bahlil ke Dewan Pers hingga akhirnya dikeluarkan rekomendasi.
Dalam surat rekomendasi tersebut, Dewan Pers memutuskan terjadi pelanggaran Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik karena informasi yang tidak akurat. Surat tersebut juga merekomendasikan agar Teradu dapat melayani Hak Jawab disertai permintaan maaf.
“Teradu wajib melayani Hak Jawab dari Pengadu (Bahlil) secara proporsional, disertai permintaan maaf kepada Pengadu dan masyarakat pembaca, selambat-lambatnya pada edisi berikutnya setelah Hak Jawab diterima,” tulis Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dalam surat tersebut, dikutip Senin (18/3/2024).
Dalam surat tersebut Bahlil selaku Pengadu juga diminta memberikan Hak Jawab selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah surat dari Dewan Pers diterima dalam format ralat dengan prinsip-prinsip pemberitaan atau karya-karya jurnalistik, namun tidak boleh mengubah substansi atau makna Hak Jawab yang diajukan.
“Teradu wajib melaporkan bukti tindak lanjut PPR ini ke Dewan Pers selambat-lambatnya 3 x 24 jam setelah Hak Jawab dimuat. Apabila Pengadu tidak memberikan Hak Jawab dalam batas waktu, maka Teradu tidak wajib untuk memuat Hak Jawab,” ucapnya.
Jika Hak Jawab tak dilayani maka denda akan dikenakan sebagai sanksi sebesar Ro500 juta. Keputusan ini disebut bersifat final dan mengikat secara etik.