Sekjen F-PDR: Saat Ini Momentum Emas Megawati Jadi Tokoh Pemersatu Bangsa Melawan Kezaliman
Kondisi bangsa saat ini mirip dengan kondisi di pengujung kekuasaan rezim Orde Baru yang memaksa Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Meski hasil survei diduga rekayasa menunjukkan kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo masih relatif tinggi namun fakta di lapangan berbicara sebaliknya.
Nilai tukar rupiah amblas, inflasi naik.
Harga barang-barang kebutuhan pokok makin tak terjangkau "wong cilik" atau rakyat kecil yang merupakan mayoritas penduduk negeri ini.
Kondisi sosial politik makin centang-perentang.
Elite-elite politik sibuk bertengkar yang dampaknya sampai ke "grass roots" atau akar rumput.
Persatuan dan kesatuan bangsa pun makin rapuh.
Kondisi bangsa saat ini mirip dengan kondisi di pengujung kekuasaan rezim Orde Baru yang memaksa Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998.
Jika ada percikan sedikit saja, kerusuhan sosial bisa terjadi.
Sekretaris Jenderal Forum Penyelamat Demokrasi dan Reformasi (F-PDR) Rudi S Kamri mengatakan saat ini Indonesia memerlukan tokoh pemersatu bangsa yang bisa menyatukan seluruh elemen bangsa yang kondisinya sudah ibarat api di dalam sekam.
"Tokoh yang mempunyai kapasitas kenegarawanan yang pantas untuk turun gunung adalah Ibu Megawati Soekarnoputri. Saat inilah momentum emas bagi Ibu Megawati untuk tampil kembali sebagai tokoh pemersatu bangsa," kata Rudi S Kamri di Jakarta, Rabu (14/8/2024).
Rudi yang juga pengamat sosial-politik ini kemudian me-"review" peran Megawati saat mendobrak kebekuan rezim Orde Baru yang telah menjelma menjadi berhala kekuasaan, melalui perlawanan-perlawanan heroik namun tetap taat hukum dan konstitusi, sehingga Soeharto tumbang.
"Saat itu Ibu Megawati tampil sebagai tokoh pemersatu bangsa yang anti-anarkis, termasuk ketika kantor partainya diserbu pada 27 Juli 1996 di mana Ibu Megawati tetap taat asas dan konstitusional. Bayangkan kalau saat itu Ibu Megawati menyerukan revolusi, pasti bisa hancur bangsa ini," jelasnya.
Usai Soeharto lengser dan digelar Pemilu 1999 yang dimenangkan PDI Perjuangan, kata Rudi, sang ketua umum, yakni Megawati juga tetap taat asas dan konstitusi meskipun sebagai pemenang pemilu, putri Proklamator RI Bung Karno itu hanya mendapat porsi Wakil Presiden RI karena rekayasa politik Poros Tengah, sehingga yang menjadi Presiden adalah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang parpolnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) bukan pemenang Pemilu 1999.
"Saat itu Ibu Megawati tetap taat asas dan konstitusi, meskipun dizalimi," paparnya.
Nah, kata Rudi, kini ketika pemerintahan Presiden Jokowi banyak berbuat kezaliman, baik kepada elite politik termasuk Megawati, dan terutama kepada rakyat, Presiden ke-5 RI ini harus tampil ke depan menjadi tokoh pemersatu bangsa untuk melawan kezaliman rezim, seperti yang pernah Megawati lakukan di pengujung era Orde Baru.
"Ibu Megawati harus tampil kembali sebagai tokoh pemersatu bangsa, dengan bersama-sama rakyat melakukan perlawanan terhadap kezaliman rezim, bukan dalam kapasitas beliau sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan, tapi sebagai tokoh pemersatu bangsa," cetusnya.
Kezaliman itu, jelas Rudi, tercermin dari lahirnya beberapa undang-undang dan aturan yang tidak berpihak kepada rakyat, tetapi berpihak kepada oligarki dan konglomerat, serta kecurangan-kecurangan dalam Pemilu 2024, dan sebentar lagi dalam Pilkada 2024 yang akan digelar serentak di seluruh Indonesia pada Rabu (27/11/2024).
Bagaimana cara melawan kezaliman-kezaliman itu? Menurut Rudi, sebagai tokoh bangsa yang sudah banyak makan asam garam politik, Megawati tentu sudah punya cara untuk melawan kezaliman rezim dengan tetap taat hukum dan konstitusi.
"Caranya kita serahkan kepada Ibu Megawati. Jangan biarkan rakyat bertindak sendiri-sendiri, karena bisa tidak terkendali," tandasnya.