Urgensi Pengesahan RUU Perampasan Aset Menurut KPK
Selama ini, pelaku korupsi sering kali menyembunyikan atau mentransfer aset mereka agar tidak bisa dijangkau oleh otoritas hukum.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset merupakan kebutuhan mendesak bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi, memperkuat sistem hukum, memulihkan kerugian negara, sekaligus mematuhi standar internasional.
Dari perspektif nasional, khususnya dalam upaya pemberantasan korupsi, UU tersebut memungkinkan negara dapat menyita hasil kejahatan, termasuk aset-aset yang disembunyikan di luar negeri.
Baca juga: Mandek Bertahun-tahun, Baleg DPR Periode Ini Belum Bisa Pastikan RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas
Selama ini, pelaku korupsi sering kali menyembunyikan atau mentransfer aset mereka agar tidak bisa dijangkau oleh otoritas hukum.
"Perampasan aset tanpa menunggu putusan pidana (non-conviction based asset forfeiture) akan menjadi alat yang kuat untuk memulihkan kekayaan negara," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto dalam keterangannya, Jumat (25/10/2024).
Alhasil, lanjut Tessa, rampasan tersebut dapat meningkatkan penerimaan negara sebagai salah satu modal pembangunan nasional.
Hal ini akan memberikan dampak langsung terhadap penguatan keuangan negara serta mendukung program-program sosial lainnya.
Sementara dari perspektif internasional, salah satu elemen penting dari United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) adalah pengaturan mengenai perampasan dan pengembalian aset yang diperoleh secara tidak sah melalui korupsi.
Dengan adanya Undang-Undang Perampasan Aset, Indonesia menunjukkan komitmennya terhadap implementasi UNCAC.
Baca juga: DPR Lebih Yakin Revisi UU Wantimpres-Kementerian Sah Periode Sekarang Dibanding RUU Perampasan Aset
"Hal ini juga akan memperbaiki sistem penegakan hukum terkait kejahatan korupsi yang melibatkan aktor lintas negara, terutama dalam hal pemulihan aset," kata Tessa.
Selain itu, kata Tessa, Indonesia juga telah berkomitmen untuk memenuhi standar-standar internasional dalam pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme, yang diatur oleh Financial Action Task Force (FATF).
Di mana salah satu prasyarat utama untuk menjadi anggota penuh FATF adalah kemampuan negara dalam melakukan penyitaan dan perampasan aset dari tindak kejahatan, terutama terkait dengan pencucian uang dan korupsi.
Tessa mengatakan, pembahasan dan pengesahan undang-undang perampasan aset ini akan menunjukkan keseriusan Indonesia dalam mematuhi standar FATF, sehingga meningkatkan peluang untuk menjadi anggota penuh.
"Dengan demikian, undang-undang perampasan aset juga akan memperkuat kredibilitas Indonesia di mata internasional, terutama dalam penegakan hukum dan komitmen terhadap tata kelola pemerintahan yang baik (good governance)," katanya.
Dikatakan Tessa, negara-negara yang memiliki undang-undang kuat dalam hal perampasan aset hasil kejahatan cenderung dipandang lebih kredibel dan memiliki kepercayaan lebih besar dalam hubungan internasional, baik dari segi ekonomi maupun hukum.
Hal tersebut juga dapat memperkuat hubungan bilateral dan multilateral Indonesia dengan negara-negara yang memiliki kerangka hukum serupa.
Di sisi lain, pengesahan RUU Perampasan Aset juga dapat meningkatkan nilai Corruption Perception Indexs (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK).
Di mana setiap tahun perspesi publik tersebut diukur dengan standar internasional melalui pengukuran IPK.
"Sehingga, dengan kualitas good governance, peningkatan skor IPK adalah sebuah keniscayaan," kata Tessa.