Ekonom Minta Kebijakan PPN 12 Persen yang Mulai Berlaku Besok Dibatalkan: 'Sangat Membebani Rakyat'
Nailul Huda menilai kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen sangat membebani seluruh rakyat Indonesia.
Penulis: Rahmat Fajar Nugraha
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rahmat W Nugraha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Indef Nailul Huda meminta pemerintah membatalkan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang mulai berlaku tahun depan.
Nailul Huda menilai kebijakan tersebut sangat membebani seluruh rakyat Indonesia.
Baca juga: Rieke Dipanggil MKD Buntut Tolak Kenaikan PPN 12 Persen, PDIP: DPR Berpotensi Jadi Stempel Kekuasaan
"Masih ada peluang pemerintah untuk membantu masyarakat agar tidak terbebani beban terlalu berat. Pajak karbon harusnya tahun 2022 dilaksanakan, namun sampai saat ini tidak diimplementasikan," kata Huda, Selasa (31/12/2024).
Ia menegaskan kebijakan tersebut bisa menurunkan daya beli masyarakat.
"Pertumbuhan konsumsi masyarakat melambat di triwulan III 2024 dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91 persen (y-o-y). Sedangkan secara q-to-q, konsumsi rumah tangga turun -0,48 persen. Kita mengalami deflasi 5 bulan secara berturut-turut (Mei-September). Pelaku UMKM mengaku turun omzetnya hingga 60 persen menurut BRI," terangnya.
Ia melanjutkan pemerintah memang butuh uang untuk menambal defisit anggaran yang melebar.
Tahun depan juga ada utang jatuh tempo dengan jumlah yang cukup besar.
Paling mudah bagi pemerintah adalah dengan menaikkan tarif PPN.
"Namun, ada pos penerimaan lain yang belum tergarap yaitu penerimaan negara sektor tambang yang masih banyak ilegal. Hasyim pernah menyampaikan ada Rp 300 triliun dari pengemplang pajak, kenapa hal itu tidak didahulukan? Alih-alih menaikkan tarif PPN," terangnya.
Baca juga: Tarif PPN Naik 12 Persen, Benarkah Sektor Industri Lokal Terancam Kolaps?
Tarif PPN Indonesia sebesar 11 persen, kata Huda masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya dan negara-negara OECD.
"Tarif PPN di Malaysia hanya 8 persen, sedangkan Singapura 9 persen. Tarif PPN paling tinggi adalah Filipina sebesar 12 persen," terangnya.
Atas dasar tersebut, ia minta kenaikan tarif PPN di tahun 2025 wajib dibatalkan.
"Pemerintah punya opsi untuk tidak menerbitkan PMK yang mengatur mengenai pemungutan PPN. Opsi ini pernah dilakukan saat mundurnya implementasi pajak karbon," tegasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.