Semangat Belajar Tinggi, Difabel di Bantul Ini Tak Pernah Terlambat Sekolah Meski Berkursi Roda
Dia sudah terbiasa menempuh jarak kurang lebih 6 kilometer untuk berangkat ke sekolah di SMP 2 Sewon hanya dengan menggunakan kursi roda.
Editor: Wahid Nurdin
Laporan Reporter Tribun Jogja, Agung Ismiyanto
TRIBUNNEWS.COM, BANTUL - Ramainya lalu lintas di jalanan Kabupaten Bantul menjadi ancaman sekaligus tantangan bagi seorang difabel seperti Edi Priyanto (18).
Dia sudah terbiasa menempuh jarak kurang lebih 6 kilometer untuk berangkat ke sekolah di SMP 2 Sewon hanya dengan menggunakan kursi roda. Tekadnya kuat untuk mengenyam pendidikan tak memudarkan keberaniannya menaklukkan jalanan.
Pagi buta, Edi sudah berangkat dari rumahnya di Dusun Manggung, Sumberagung, Jetis, Bantul. Dia berdandan rapi dan mengayuh kursi rodanya untuk berangkat ke sekolah hari pertama Senin (18/7/2016) pagi kemarin.
Hari pertama masuk sekolah itu menjadi hari yang membahagiakan baginya. Setelah selama sebulan lebih, Edi hanya menghabiskan waktu liburannya bersama dengan kawan-kawan di kampungnya untuk bersepeda.
Edi kini duduk di kelas IX SMP 2 Sewon yang merupakan sekolah inklusi ini.
Seperti biasanya, Edi menjadi siswa yang paling awal datang meski hanya dengan “transportasi” kursi roda. Pagi kemarin, dia sampai di sekolah pukul 06.10 WIB.
Ada kepuasan tersendiri jika dia selalu datang tepat waktu. Kedisiplinan itu pun menjadi teladan bagi siswa lain yang normal.
“Saya memang senang bisa kembali ke sekolah. Rasanya selalu semangat jika kembali lagi ke sekolah,” ujar Edi kepada Tribun Jogja.
Edi yang sempat berhenti sekolah selama beberapa tahun karena keterbatasan biaya ini memang sangat semangat jika kembali belajar di sekolah.
Di balik keterbatasannya, Edi ingin benar-benar mengentaskan kesulitan ekonomi yang dirasakan keluarganya.
Cita-cita Edi sangat luhur, dia berjuang untuk meraih pendidikan dan menjadi seorang teknisi Komputer. Dia pun menyukai desain-desain dan menggambar sketsa untuk mengisi waktu luangnya.
Ibunya, Sumiyah, saat ini hanya hidup menggantungkan kerajinan anyaman bambu yang dibuatnya.
Hasil dari penjualan anyaman bambu ini dipergunakan untuk makan dan uang saku Edi. Sisanya, jika ada kekurangan pun ibu Edi harus tambal sulam untuk mengisi pundi-pundi ekonomi keluarga.