Kisah Kekejaman Rio Martil dan Tiga Permintaan Terakhirnya Jelang Eksekusi Mati
Jumat, 12 Januari 2001, suasana di Baturade, Banyumas, Jawa Tengah, tampak seperti hari-hari biasa.
Editor: Sugiyarto
Obrolan sebenarnya juga tidak terlalu serius, karena suara dari televisi yang menyala juga cukup keras.
Jeje meladeni pembicaraan itu semata untuk menyenangkan hati kliennya saja.
Matanya sesekali melirik ke arah televisi sambil menyimak Rio yang berjalan mondar-mandir di kamar.
Kepala langsung remuk
Tiba-tiba saja, bug! Jeje merasakan sebuah pukulan benda keras menghantam kepalanya. Begitu keras, hingga darah mengucur dan membuat ia tak sadarkan diri lagi.
Pukulan yang dilakukan berkali-kali oleh Rio itu menggunakan dua martil, satu di tangan kiri, satunya di kanan.
Dalam beberapa pukulan saja, kepala Jeje sudah remuk. Darah dan isi kepala berhamburan. Percikannya mengenai kursi, meja, kasur, bahkan sampai ke dinding.
Tubuh ayah tiga anak yang sudah berusia belasan tahun itu akhirnya tergolek bersimbah darah di kursi. Melihat itu, Rio langsung membuang martil di lantai.
la meraih selimut dan sprei kasur untuk mengelap tangannya yang belepotan darah, lalu kain yang merah basah itu digunakan untuk menutupi tubuh korbannya.
Merasa kurang bersih, Rio menuju kamar mandi dan cuci tangan di wastafel.
Tok, tok, tok! "Pak Jeje! Pak Jeje!"
Terdengar pelayan hotel memanggil-manggil sambil mengetuk pintu kamar.
Suara yang sempat membuat Rio terkejut.
"Sebentar, saya masih ngobrol-ngobrol," katanya menjawab sambil terus membersihkan tangannya.