KPK Periksa ASN Pemkot Bandung di Kantor Ditpam Obvit Polda Jabar
Ia mengaku tidak tahu berapa banyak penyidik KPK yang memeriksa saksi. Hanya saja, yang ia ketahui, mereka menggunakan doa kendaraan.
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mega Nugraha Sukarna
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG-Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggunakan ruangan di Kantor Ditpam Obvit Polda Jabar di Jalan AH Nasution.
Mereka memeriksa sejumlah saksi terkait dugaan korupsi proyek ruang terbuka hijau (RTH) Kota Bandung.
"Iya, penyidik KPK menggunakan lantai 2 untuk pemeriksaan saksi," ujar seorang anggota polisi di lobi Kantor Ditpam Obvit, Selasa (16/7).
Ia mengaku tidak tahu berapa banyak penyidik KPK yang memeriksa saksi.
Baca: Genjot Devisa, Kementan Kembali Lepas Ekspor Bawang Merah dan Jahe
Baca: Sinopsis The Secret Life of My Secretary Episode 27: Sekretaris untuk Satu Hari
Baca: Viral Hari Ini, 9 Tahun Pacaran Pasangan Ini Menikah Hanya 3 Bulan Karena Istri Meninggal Tumor Otak
Hanya saja, yang ia ketahui, mereka menggunakan doa kendaraan.
"Banyak tapi tidak dihitung. Mereka minta untuk tidak diganggu dulu," katanya.
Informasi yang beredar, ada lima orang yang diperiksa penyidik KPK.
Yakni PNS Setda Kota Bandung, mantan kepala seksi di DPKAD Pemkot Bandung dan staf PNS, lalu ada salah satu kepala dinas di Kota Bandung dan seorang PNS staf ahli Walikota Bandung.
Hanya saja, informasi nama-nama yang beredar itu belum bisa diverifikasi kebenarannya.
Hanya saja, hingga siang ini, pemeriksaan masih berlangsung.
Dalam kasus ini, KPK sudah menetapkan tersangka.
Yakni Kepala DPKAD Hery Nurhayat, mantan anggota DPRD Tom Tom Abdul Komar dan Kadar Slamet.
Menurut KPK, anggaran dalam proyek RTH Kota Bandung mencapai Rp 123,9 miliar terdiri belanja modal tanah dan belanja penunjang untuk enam ruang terbuka hijau.
Dua diantaranya RTH Mandalajati Rp 33,455 miliar dan RTH Cibiru Rp 80,7 miliar.
Tersangka Tomtom dan Kadar diduga menyalahgunakan kewenangan untuk meminta penambahan anggaran.
Selain itu, keduanya diduga berperan sebagai makelar pembebasan lahan.
Sedangkan Hery diduga menyalahgunakan kewenangan dengan mencairkan anggaran yang tidak sesuai dengan dokumen pembelian.
Selain itu, dia mengetahui bahwa pembayaran bukan kepada pemilik langsung melainkan melalui makelar.