Fakta Pemerkosa 9 Anak Mojokerto Dihukum Kebiri Kimia, Alasannya hingga Kata Dokter
Pelaku pemerkosa sembilan anak di Mojokerto, Muh Aris telah resmi divonis oleh pengadilan dengan hukuman kebiri kimia. Berikut faktanya.
Penulis: Whiesa Daniswara
Editor: Tiara Shelavie
Pelaku pemerkosa sembilan anak di Mojokerto, Muh Aris telah resmi divonis oleh pengadilan dengan hukuman kebiri kimia. Berikut faktanya.
TRIBUNNEWS.COM - Seorang pelaku pemerkosaan terhadap sembilan anak di Mojokerto, Jawa Timur, Muh Aris (20) telah dijatuhi hukuman kebiri kimia.
Muh Aris, pelaku pemerkosaan sembilan anak di Mojokerto, Jawa Timur menjadi terpidana pertama yang akan menjalani kebiri kimia.
Awalnya, Muh Aris dijatuhi hukuman kurungan selama 12 tahun dan denda sebesar Rp 100 juta dengan subsider 6 bulan penjara.
Baca: Hukuman kebiri kimia pertama untuk pemerkosa anak belum bisa diterapkan tanpa petunjuk teknis
Baca: Pemerkosa Anak asal Mojokerto Takut Dikebiri: Lebih Baik Saya Dihukum Mati
Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto, Nugroho Wisnu mengungkapkan, jaksa sebenarnya tidak menyertakan hukuman kebiri dalam tuntutan.
Munculnya hukuman kebiri merupakan pertimbangan dan keputusan para hakim di Pengadilan Negeri Mojokerto.
Berikut fakta pemerkosa sembilan anak di Mojokerto dijatuhi hukuman kebiri, dirangkum Tribunnews.com dari berbagai sumber:
1. Alasan
Ketua Pengadilan Negeri Mojokerto, Muslim mengatakan, vonis hukuman kebiri kimia terhadap pelaku pemerkosaan, Muh Aris (20) karena mempertimbangkan jumlah dan usia korban.
Muslim mengatakan jika berdasarkan fakta persidangan, korban Muh Aris jumlahnya sembilan anak dengan usia rata-rata 6 hingga 7 tahun.
Baca: TERPOPULER: Seputar Kebiri Kimia dan Cara Kerja Kebiri Kimia, Vonis yang Dijatuhkan Pemerkosa 9 Anak
Baca: Berta Lengkap radator Anak Divons Kebiri, elaku Minta Dihukum Mati Saja
Dikutip dari Kompas.com, sesuai dengan fakta tersebut, para hakim di Pengadilan Negeri Mojokerto memutuskan Muh Aris dijatuhi hukuman kebiri kimia.
"Dari fakta hukum dan hati nurani hakim, sehingga memutuskan vonis itu. Karena korbannya anak-anak di bawah umur, usianya 7 - 6 tahun dan korbannya tidak hanya satu," kata Muslim, saat ditemui di Kantor Pengadilan Negeri Mojokerto, Senin (26/8/2019).
Dijelaskan, putusan majelis hakim sedikit berbeda dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
JPU sebenarnya tidak menyertakan tuntutan hukuman kebiri kimia.
Baca: Soal Kebiri Kimia, Wakil Ketua Komisi IX DPR Lebih Setuju Kebiri Permanen
Baca: Kronologi Lengkap Kasus Aris di Mojokerto sampai Dihukum Kebiri, Dulu Dijuluki Predator Anak
Jaksa kala itu menuntut Aris dengan hukuman penjara 17 tahun dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Namun, kata Muslim, berdasarkan pertimbangan dan fakta persidangan, hakim memiliki kewenangan untuk menentukan apa yang paling adil dalam memutuskan vonis perkara pidana.
"Majelis hakim itu punya independensi. Jadi tidak harus mengikuti tuntutan dari penuntut umum," katanya.
2. Tanggapan Psikolog
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri menanggapi keputusan pengadilan di Jawa Timur yang memberi hukuman kebiri kimia kepada pemerkosa 9 anak
"Akhirnya, ada juga pengadilan negeri yang memuat kebiri kimiawi dalam putusannya bagi terdakwa predator seksual. Majelis Hakim di PN Mojokerto," ujar Reza, Sabtu (24/8/2019).
Baca: Kuasa Hukum Terdakwa Predator 9 Anak Mojokerto Minta Ada Kajian Ulang Perilaku & Anulir Kebiri Kimia
Baca: Divonis Kebiri Kimia, Terdakwa Pemerkosa Dimasukan di Sel Isolasi
Tapi, menurut Reza, bisa dipastikan, putusan semacam itu tidak bisa dieksekusi. Ia mengungkap beberapa alasannya.
"Pertama, Ikatan Dokter Indonesia menolak menjadi pelaksana karena di Indonesia filosofi kebiri adalah retributif. Padahal, di luar, filosofinya adalah rehabilitasi. Dokter, kata IDI, bertugas menyembuhkan, bukan balas dendam," kata Reza.
Alasan kedua, sambung Reza, di sini, kebiri dijatuhkan dengan menihilkan kehendak pelaku. Alhasil, bisa-bisa pelaku menjadi semakin buas.
"Kemudian di luar, kebiri adalah berdasarkan permintaan pelaku. Pantaslah kalau di sana kebiri kimiawi mujarab. Di sini blm ada ketentuan teknis kastrasi kimiawi. Akibatnya, UU 17/2016 melongo bak macan kertas," ungkap Reza.
Baca: Vonis Kebiri Kimia Predator 9 Anak Mojokerto, Dokter: Bukan Solusi Hukuman Tambahan Penjahat Seksual
Baca: KPAI Apresiasi PN Mojokerto Vonis Terdakwa Pelaku Pemerkosa Sembilan Anak Dengan Kebiri Kimiawi
3. Kata Dokter
Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian PB IDI turut menolak terlibat tindakan kebiri kimia atau sebagai eksekutor dalam kasus tersebut.
"Kami menghormati keputusan hukum, di sisi lain ada pertimbangan profesi," kata Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian PB IDI Dr. dr. Pujo Hartono, Senin (26/8/2019), seperti dilansir melalui TribunJatim.com.
Baca: Amnesty International Indonesia Tanggapi Vonis Kebiri Kimiawi Pelaku Pemerkosaan 9 Anak di Mojokerto
Baca: Pelaku Perkosaan 9 Anak di Mojokerto Divonis Hukuman Kebiri Kimia, Apa Itu dan Bagaimana Efeknya?
"Toh, pelakunya dihukum yang sudah pasti tapi hukuman tambahan ini mungkin akan dibicarakan dengan pihak terkait," tambahnya.
Dokter Pujo Hartono mengatakan profesi dokter hanya melakukan penanganan pengobatan.
Jika pasien atau dalam hal ini terpidana Muh Aris memiliki kelainan hormonal, pihaknya bersedia melakukan pengobatan terhadap penyakit pasien.
"Kalau pelaku atau pasien ini ada kelainan kita obati, tapi dengan melibatkan macam-macam dokter jiwa, psikiatri, ahli endogren. Bukan eksekusi kebiri tapi mengobati mungkin kelainan hormonal," kata Pujo.
Baca: DPR: Hukuman Kebiri Kimia Dilakukan Karena Dampaknya Sangat Besar
Baca: PB IDI Tolak Dokter Jadi Eksekutor Kebiri Kimia Pelaku Persetubuhan Anak di Mojokerto
Sebab, pasien dengan adiksi seksual atau pelaku kekerasan seksual akan sangat berdampak pada kondisi maupun trauma korban.
Terpenting, menurutnya, pencegahan terhadap hasrat untuk kejahatan seksual.
"Kami konsen bahkan kajian dan analisis lintas sektoral memulai tindakan preventif sampai rehabilitatif terhadap kasus adiksi pornografi. Adiksi itu sudah tidak benar," tutup Pujo.
(Tribunnews.com/Whiesa/TribunJatim/Kompas.com)