Jawa Tengah Jadi Limbah Barang Bekas, Surga Bagi Penyelundup Pakaian Bekas Impor
Jawa Tengah kini jadi surga bagi para penyelundup pakaian bekas impor. Harganya memang murah, branded, tapi beresiko timbulkan penyakit.
Editor: cecep burdansyah
TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Penjualan pakaian bekas atau thrifting terus meningkat seiring tren di kalangan remaja yang hobi mengenakan pakaian bermerk atau branded aneka produk fashion original. Jawa Tengah pun dibanjiri pakaian bekas impor.
Tribunjateng.com melakukan penelurusan di Kota Semarang dan sejumlah kabupaten di Jateng. Di Kota Semarang, sedang ramai beberapa bazar pakaian bekas. Sebut saja di MG Setos Semarang pada 18 - 24 Desember 2021.
Kemudian ada lagi di Ventura Kuliner Semarang yang berlangsung pada 26 Desember 2021 hingga 6 Januari 2022.
Kedua kegiatan tersebut diselenggarakan oleh komunitas yang sama yakni Semarang Flea Market. Banyak peminat untuk membeli pakaian impor bekas, dengan merk tertentu.
Selain harga terjangkau, kualitas produk lebih bagus dan kondisi masih OK.
Kepala Disperindag Jawa Tengah, Arif Sambodo mengatakan, pihaknya belum melakukan pengawasan terhadap perdagangan pakaian bekas atau thrifting di wilayah Jawa Tengah.
Menurutnya, belum ada laporan terkait pihak-pihak yang dirugikan oleh kegiatan perdagangan tersebut.
"Kami memiliki kewenangan untuk mengawasi perdagangan. Termasuk pakaian bekas impor itu. Cuma saat ini memang belum. Karena belum ada laporan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan," kata Arif Sambodo.
Menurutnya, impor pakaian bekas tidak masuk dalam daftar 10 besar barang impor di Jawa Tengah. Peredarannya cukup kecil, atau bisa saja produk tersebut didistribusikan dari Jakarta maupun Surabaya.
"Berdasarkan data kami, itu tidak masuk 10 besar. Mungkin bisa saja masuk dari Jakarta, Surabaya, maupun Batam," terangnya.
Lanjut Arif, perdagangan pakaian bekas menurutnya bukan suatu hal yang dilarang. Pihaknya pun juga tidak bisa memberikan banyak tanggapan, sebab ini merupakan kewenangan pusat.
"Ini tidak termasuk barang impor terlarang dan dibatasi. Kami tidak bisa memberikan komentar. Karena bukan kewenangan kami," tandas Arif.
Baca juga: Tarif Parkir di Kota Bandung Naik Tinggi, Warga Keberatan dan Minta Ditinjau Ulang
Kepentingan umum
Sebetulnya ada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Alasan pemerintah mengeluarkan aturan tersebut untuk melindungi keamanan nasional dan kepentingan umum.
Dalam Permendag Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 dan UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan disebutkan ada tambahan bea masuk untuk produk impor pakaian baru.
Artinya impor pakaian bekas tidak dikenakan bea masuk karena memang impor pakaian dilarang.
Direktur Kepabeanan Internasional dan Antarlembaga Ditjen Bea Cukai, Syarif Hidayat menyebutkan, ketentuan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) berlaku untuk pakaian baru.
"Impor pakaian bekas dilarang dengan Permendag," kata Syarif Hidayat beberapa hari lalu.
Untuk diketahui, pemerintah melarang impor baju bekas dengan alasan melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup.
UU Perdagangan, importir wajib mengimpor barang dalam keadaan baru. Kecuali ditentukan lain oleh pemerintah pusat.
Di pasal 46 angka 17 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 51 ayat 2 UU Perdagangan juga kembali menegaskan importir dilarang mengimpor barang yang ditetapkan sebagai barang yang dilarang untuk diimpor, atau dalam hal ini pakaian bekas.
Baca juga: Mesin Parkir Puluhan Miliar di Kota Bandung Rusak Tak Berfungsi, Tarif Parkir Dinaikkan
Limbah Barang Bekas
Maraknya penjualan pakaian impor bekas (seken) berpengaruh pada aktivitas perdagangan garmen di dalam negeri.
Pengusaha garmen di Kota Semarang, Dedy Mulyadi mengatakan, fenomena jual beli pakaian bekas impor memang memiliki pengaruh terhadap perdagangan pakaian dalam negeri meski tidak terlalu signifikan.
Baginya selaku eksportir, hal itu tidak terlalu berpengaruh. Justru, pengaruh lebih kepada pedagang kecil.
"Bagi pedagang kecil, ada pengaruh. Mungkin karena harga lebih murah dibanding produksi, tapi prosentase tidak begitu besar," kata Dedy, Minggu (2/1/2022).
Dedy mengakui, harga beli baju impor bekas memang lebih murah dibanding harga produksi barang. Biasanya, ini dijualbelikan dalam kiloan atau partai besar. Hal itu yang mungkin menjadi faktor para pedagang kecil lebih memilih berdagang baju bekas.
Padahal, impor barang bekas berisiko penyakit. Apalagi, kondisi saat ini sedang dalam suasana pandemi Covid-19. Seringkali masyarakat tinggal memakai saja tanpa memikirkan risiko yang bisa timbul.
Di samping itu, impor baju bekas juga tidak diperbolehkan. Beredarnya baju bekas impor ini menandakan adanya penyeludupan.
"Secara aturan, impor baju bekas tidak boleh. Itu artinya ada penyeludupan. Itu seharusnya diselesaikan supaya negara tidak dirugikan. Tidak bayar bea masuk, kasihan pedagang di sini," ujarnya.
Menurutnya, orang-orang menyeludup baju bekas lantaran pedagang kecil tidak berproduksi karena bahan baku terlalu mahal. Impor kain, kata dia, cukup sulit.
Ada biaya masuk tambahan yang cukup tinggi. Sehingga, impor baju bekas menjadi pilihan. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada baju saja, namun barang-barang branded bekas lainnya misalnya sepatu. Bea masuk terlalu tinggi.
Jika tidak ingin Indonesia menjadi 'limbah' barang-barang bekas, pemerintah perlu membuka keran-keran impor untuk bahan-bahan khusus yang tidak diproduksi di Indonesia.
Jika tidak, penyeludupan bisa saja terjadi, satu diantarnya maraknya penjualan baju-baju bekas. Hal itu justru tidak ada kontribusi terhadap negara. (afn/eyf/jti/fba)
Baca juga: Mohctar Kusuma-atmadja Sediakan Pulau Galang bagi “Manusia Perahu” yang Malang